22. DENTUMAN TENGAH MALAM

793 87 12
                                    


Fitri

Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.

Fitri

Mereka mendudukkanku di sebuah singgasana dan wanita bunian itu lagi-lagi membuatku tersihir.

"Kau dan putraku sebentar lagi akan bertunangan."

Aku tak merespons, hanya diam terpana mendengarkan ucapannya.

"Dan tak berselang lama, kalian akan menikah. Bangsa bunian dan manusia adalah perpaduan keturunan yang sempurna. Kau akan memberikan cucu yang brilian untukku. Ia akan memiliki kemampuan paripurna dan misi untuk menguasai dunia akan segera terealisasi."

Masih seperti tadi, terpana dan seolah mengiyakan saja semua yang wanita itu ucapkan.

"Apakah Jordan sudah kembali?" Ia bertanya pada para prajuritnya.

Mereka mengangguk.

Jordan? Kurasa inilah calon suamiku.

Tak beberapa lama, pria luar biasa rupawan itu pun muncul. Ia sama sekali tidak memakai apa-apa untuk menutupi tubuh bagian atasnya. Celana yang dikenakan pun hampir serupa dengan para prajurit itu. Aku tersedak.

"Ini dia calon istrimu. Dia cantik bukan?"

Wanita itu berujar pada pria yang bernama Jordan, dibalas anggukan oleh sang lelaki rupawan.

"Kau boleh bersenang-senang berdua dengannya. Kalian semua keluar dari ruangan ini!"

Dalam sekejap, ruangan entah berantah itu pun lengang. Menyisakan diriku dan Jordan.

Ia kemudian duduk di sisi ranjang dan menatapku lamat-lamat. Aku pun demikian, menatapnya terpedaya.

"Siapa namamu?" tanyanya sambil merebahkan tubuh, lalu menopang kepala dengan satu telapak tangan.

"Aku Fitri," jawabku masih berdiam di singgasana itu.

Pria itu kemudian menghela napas dan perlahan bangkit, kemudian mendekati. Ia berjongkok di hadapanku.

Duhai... sungguh tampan luar biasa.

"Apa benar kau bersedia menikah denganku?" tanyanya sambil memegang kedua tepian singgasana.

Aku seolah terkurung dalam penjara tubuhnya. Namun, tak menjawab, hanya menatapnya penuh kekaguman.

Ia pun bangkit dan menyejajarkan wajahnya dengan wajahku. Seinci pun aku tak menggeser kepala menjauh darinya. Posisi kami berhadapan, berjarak lima sentimeter. Begitu dekat, aku pun mencium aroma napasnya yang harum.

"Kau bersedia menjadi istriku atau tidak?" tanyanya setengah berbisik, menggelitik naluriku.

Tanpa sadar mataku terpejam, memasrahkan apa saja yang akan ia lakukan padaku.

Perlahan, ia pun menyentuh wajahku lembut, aku mengikuti dan menikmati sentuhannya itu. Sama persis seperti yang pernah kulakukan dengan Bang Buyung.

I N Y I A K [COMPLETE]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang