14. MENCOBA MENDEKAT

831 71 21
                                    

Fitri

Aku pernah bilang, kau akan kembali ke duniamu yang dulu, Bang Buyung. Dan kau pun akan masuk ke dalam perangkap.

***

Aku sengaja menantinya selepas salat ashar ini, dia tampak berbincang dengan Buya Dasril. Tua bangka yang tak kalah menyeramkan itu. Dia pasti punya teman sebangsa jin atau setan yang membuatnya tampak begitu menakutkan olehku.

Jujur saja, jika berhadapan dengan tua bangka itu aku tergamang. Tak berani menatapnya. Entah mengapa, ada sesuatu hal dari dirinya yang membuatku seolah merasa akan ditangkap saja, lalu dilumatnya habis-habisan.

Apalagi, melihat kedekatan lelakiku dengannya. Hah! Pasti tua bangka itu yang menarik Bang Buyung kembali ke tempat ini.

Tak kulihat Upik, ke mana dia? Nek Eroh juga sudah kuminta duluan pulang. Dia nanti akan mengganggu aksiku mendekati Bang Buyung. Lagi pula, jika beralasan ingin lebih lama di surau, Nek Eroh tak keberatan. Dia malah senang. Aneh! Ditipu begitu malah senang!

Dia lama sekali bicara dengan si tua itu. Tadi aku sempat mengodenya untuk berjumpa di ujung jalan depan, dia tampak paham, mengangguk pelan, kemudian matanya beralih lagi ke si tua, Buya Dasril.

Aku sudah berjalan perlahan, menuju rumah. Dia mengecewakan, lama sekali. Capek kaki ini berdiri di ujung jalan itu menantinya.

"Hei...." Namun, setelah mendengar suara seseorang menegur dari belakang, hatiku seketika tak terkendali lagi, yang berpacu begitu kencang, mungkin seirama dengan detak jantung lelaki favoritku ini. Napasnya seolah diburu, dia berlari mengejarku.

"Maaf lama, tadi...."

"Iya, tak apa, Bang."

Langsung saja kupotong kalimatnya. Tak perlu menjelaskan apa-apa, aku hanya ingin menikmati wajahnya yang begitu memesona, itu saja sudah lebih dari cukup.

"Ada apa, Fit?"

Kami mulai berjalan beriringan. Astaga, dia menyebut namaku. Aku bahkan tak peduli dengan pandangan orang-orang yang melihat kami berjalan bersama, dan si tua bangka yang tadi, kalau bisa juga melihat.

"Cuma mau tanya Upik, Bang, kenapa tak ada di surau?"

Dia tak menjawab langsung, tetapi justru menatapku menyelidik. Seolah baru saja mengingat sesuatu. Apa kejadian tadi subuh? Yang jika ia tanyakan, aku tak tahu harus menjawab apa.

Kami sibuk dengan pikiran masing-masing, ia masih menatap, sedangkan aku, tak berani membalasnya. Menunduk saja yang bisa. Perasaan pun tak enak.

"Fit...."

Benar, dia memanggil namaku dengan intonasi berbeda, tak seriang tadi. Bahkan terkesan mengintimidasi.

"Ya...." kujawab tanpa menoleh padanya, menyembunyikan kecemasan dari wajah ini.

"Upik sedang berhalangan."

Aku terkejut, seolah tak percaya dengan perubahan sikapnya tiba-tiba. Kupikir, tadinya Bang Buyung akan menanyakan hal yang dicemaskan itu, ternyata, ia ....

Aku mengangkat wajah untuk menatapnya. Gila! Dia tersenyum lebar. Ada apa? Dia mengecoh atau malah sedang memasang perangkap untukku?

"Wah, wajahmu terlihat semakin putih."

Aku menepuk lengannya gemas, ia berhasil membawa diri ini ikut larut dalam candanya.

"Fitri kan memang putih!"

Tak bisa dipungkiri, aku menikmati saat-saat indah seperti ini bersamanya. Mencibir dengan manja, seolah merasa menjadi remaja normal.

'Kau pikir, kau tidak normal? Justru kau di atas normal, Fitri. Ayolah, hentikan permainanmu dengannya.'

I N Y I A K [COMPLETE]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang