4. MENGENANG

1.1K 85 2
                                    

Fitri

Telah berlalu beberapa bulan, kepergian kedua orang tuaku untuk selamanya.

Nek Eroh membawaku ke kampung ini, sebab tak punya siapa pun lagi. Lampung pun terasa begitu sepi tanpa Ayah dan Ibu. Aku hanya punya Manda, sahabat dekatku. Namun, dia bukan keluargaku. Hanya Nek Eroh saja yang kupunya, Ibu dari ayah. Ibu sendiri tak diketahui siapa keluarganya. Malang sekali nasib ini, terlahir dalam keluarga yang sungguh sangat kecil. Bukan keluarga besar seperti Manda, yang memiliki banyak kerabat dari Papa dan mamanya.

Jujur saja, aku tak begitu mengenal agama sendiri. Ibu tak pernah terlihat salat, hanya ketika hari raya saja. Lalu Ayah, sesekali saat di rumah tampak mengerjakan salat. Namun, jika di toko, entahlah!

Nek Eroh begitu bersedih saat mengetahui aku tumbuh tanpa ilmu agama yang cukup, bahkan kosong sama sekali. Namun lihatlah sekarang, Nek Eroh telah bekerja keras. Ibarat teko kosong, ia mengisinya dengan minuman yang dibutuhkan tubuh. Walau, masih saja ada satu sisi dalam diri yang tak menginginkan nuansa putih itu hadir di sanubari.

Kini aku hapal bacaan salat dan mengerti bagaimana cara melakukannya dengan baik dan benar. Semua tahapan sudah kukuasai. Membaca Al-Qur'an yang sama sekali telah kulupakan, bahkan lebih mahir dari Nek Eroh. Tak bermaksud menyombong, nenek juga sangat bahagia melihat cucunya sekarang.

Apakah kini aku bahagia? Tentu tidak! Saat darah palasik dalam diri makin melekat dan pekat, seolah-olah kini sudah saatnya mencari mangsa.

Ibu menurunkan ilmu itu padaku, sesaat sebelum kami berangkat bersama. Kami bicara empat mata, saat itu Ibu meyakinkan, bahwa apa yang ia dapat ini adalah sebuah anugerah, yang tak banyak dimiliki orang. Keluarganya telah melestarikan ini secara turun temurun. Entah bagaimana caranya ketika itu kuiyakan saja dan Ibu meminta menjilati lidahnya.

Ibu juga sempat berkata, bahwa kelak aku akan mengerti dan merasakan hal yang takkan orang lain rasakan. Sebuah kekuatan yang tidak akan bisa membuat orang lain menyakiti bahkan membunuhku, ke mana pun kaki melangkah. Ini adalah bekal setelah ia atau ayah tiada, agar tetap bisa menjaga diri sendiri. Dunia ini kejam, Ibu takut aku akan disakiti siapa pun kelak. Ia juga berpesan, jangan mudah percaya pada siapa pun, mereka hanya berpura-pura baik. Percaya saja pada diri sendiri, lalu iblis yang menyertai.

Aku merasakannya. Kini, rahasia itu harus dijaga, tidak boleh ada yang tahu sisi hitam jiwaku. Sekali pun itu Nek Eroh sendiri. Aku Fitri, seorang palasik muda, yang akan membuat hidup kalian di sini tak tenang, wahai warga kampung yang sok alim!

***

"Ingat Fitri, ini rahasia. Kita akan pergi sebentar lagi. Ayah memaksa untuk mengobati Ibu, dia mengira Ibu sakit. Kau jaga diri baik-baik. Ibu mencintaimu, Nak."

Ibu mencium keningku lama. Rasanya akan ada perpisahan antara kami.

Ternyata benar saja, kecelakaan itu justru tersiar di berita lokal. Aku tak mampu menahan diri untuk berlari mengejar mereka, tapi, saat itu orang tua Manda langsung mendekap erat. Ayah menitipkanku pada orang tua Manda, ketika bertemu di sekolah, mengantar seperti biasa, sebelum akhirnya pergi bersama Ibu.

Kulihat dengan jelas, wajah Ibu memucat. Yang tadinya mereka berjanji akan kembali menjemputku di rumah Manda, justru yang didapat malah berita kematian mereka.

Ayah jahat! Kenapa membawa Ibu? Ibu tidak sakit, kenapa pergi mengobatinya? Aku benci Ayah!

Aku terbangun, terdengar suara mengaji di surau. Sebentar lagi Nek Eroh pasti akan membangunkan untuk sahur.

"Pit, lah jago kau?" (1) Nek Eroh mengetuk pintu kamarku pelan.

"Ya, Nek. Sudah."

Enggan sekali rasanya keluar hanya untuk makan sahur. Aku tak butuh banyak makan seperti itu agar tetap hidup.

Nek Eroh, dia sangat baik dan perhatian padaku. Tak pernah sekali pun hati ini ingin membenci wanita tua itu. Jika saja, anaknya tak membawa Ibu pergi, mungkin kematian mereka juga tak pernah terjadi.

"Makan yang banyak," ucap Nek Eroh padaku.

Ia baru selesai makan, saat aku keluar, dia sudah mencuci piring bekas makannya. Kemudian mandi karena hendak menuju surau.

"Pit, beko jan lupo kunci pintu mode biaso, Nenek tunggu di surau,"  (2) katanya padaku, sesaat sebelum wujudnya menghilang dari balik pintu.

"Ya, Nek."

Nek Eroh biasa ke surau lebih awal di bulan puasa begini. Ia tak lagi mengkhawatirkanku pergi sendiri, karena saat ramadan, warga lebih banyak yang keluar untuk pergi beribadah.

Azan sudah terdengar. Ajo Kar mengumandangkannya dengan mendayu, suaranya terdengar sedikit serak, seperti sedang batuk. Aku sudah memakai mukena dan bersiap hendak ke surau. Kulihat ada beberapa berandal yang lewat, tampak babak belur. Mereka terlihat susah payah untuk terus berjalan. Dan warga yang melihat, sama sekali tak memedulikan.

***

"Fit, kamu sakit?"

Upik menepuk pundakku, beberapa saat setelah salat subuh selesai.

Aku terkejut, kenapa dia bilang begitu?

"Kamu pucat," katanya lagi sambil tersenyum.

"Tidak, Pik. Mungkin karena udara dingin di luar," jawabku asal. Lalu mengusap wajah dengan kedua tangan.

Upik tak menjawab lagi, ia hanya tersenyum kemudian.

Keheningan membuat pikiran kembali melayang ke masa lalu yang membuatku tak pernah bisa merelakan itu terjadi. Jika saja, Ayah tak membawa Ibu!

Aku menunduk dalam, menyembunyikan rasa sakit dalam hati. Dendam dengan Ayah sendiri. Tak pernah sekali pun dibayangkan akan jadi begini hidupku. Ayah, sosok yang juga sangat kucintai. Mereka orang tua luar biasa. Hanya saja, setelah mengetahui bahwa Ibu ternyata seorang palasik, Ayah jadi tak karuan, bahkan hampir seperti orang gila. Seolah tak rela, jika wanita yang begitu dicintai, ternyata memiliki ilmu hitam yang terkutuk, menurutnya.

Ia mencari berbagai cara, agar Ibu mau diobati. Tak pelak, pertengkaran pun pecah antara mereka. Kenapa harus dibuat rumit? Toh, jika tak berkeras hendak mengobati, Ayah tentu akan tetap hidup bersama Ibu. Berpura-pura saja tidak tahu tentang identitas Ibu, kita pasti masih hidup bahagia bersama.

"Fit...."

Lagi, Upik mengagetkan. Seketika kuhapus titik air di sudut mata, sebelum mengangkat wajah.

"Kamu menangis?" Upik tampak khawatir.

Gadis ini bahkan lebih peduli daripada Manda. Aku senang berteman dengannya, tetapi seperti kata Ibu, jangan mudah percaya pada siapa pun, mereka hanya berpura-pura baik.

"Aku hanya sedang ingat Ibu dan ... Ayah," jawabku.

Upik mengusap punggungku pelan. "Doakan mereka, hanya doa darimu yang bisa menyelamatkan mereka dari siksa kubur, sekaligus menjadi teman di alam sana."

Aku menggangguk menatapnya. "Ya, itu pasti, Pik."

Upik seolah tahu, bahwa ibuku akan disiksa di alam kubur. Tentu, karena ia mati dalam keadaan sesat, bukankah begitu? Sesat. Aku tersenyum dibalik rona sedih yang kutampakkan.

***

Catatan Kaki :

(1) Fit, kau sudah bangun?


(2) Fit, nanti jangan lupa kunci pintu rumah seperti biasa, nenek tunggu kau di surau

I N Y I A K [COMPLETE]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang