5. BAU MENYENGAT

1.1K 79 18
                                    

Fitri

Beberapa hari terakhir, aku selalu menerima bisikan dari iblis yang pernah diceritakan Ibu. Ia yang harus dipercayai. Makhluk itu tak sudi menampakkan wujudnya. Padahal aku ingin sekali melihat. Banyak manusia sok alim, yang membencinya. Seburuk apa sebenarnya dia?

'Kau, hanya perlu tetap menjadi Fitri yang seperti ini. Dengan begitu, kau bisa mengelabui semua orang. Bahwa kau bukanlah seorang palasik dan aku akan terus menjadi teman setiamu yang memberi petunjuk atas setiap aksi dan reaksi yang akan kau lakukan.'

Di kamar ini, aku kerap bercengkerama dengannya. Tak ada yang bisa mendengar, Nek Eroh pun tidak. Aku hanya tersenyum kecut. Kucoba memejamkan mata.

'Siapa pun tidak boleh kau percayai, termasuk Nenek tua yang mengajari kau salat dan mengaji itu. Kau hanya perlu patuh dan meyakini bahwa apa yang kukatakan ini adalah benar!'

"Diamlah! Kau sudah berulang kali memperingatkan tentang ini dan aku sudah mulai muak mendengarnya!" ketusku pelan.

Iblis itu terdengar tertawa. "Kau sungguh kader yang sempurna!'

Belum lagi hendak memaki untuk kedua kalinya, Nek Eroh mengetuk pintu.

Ada apa lagi si Nenek tua ini?! Aku menggerutu sambil membuka pintu dan menampilkan kembali topeng manis sebagai Fitri si anak baik dan salihah.

"Pit, Nenek nio pai ka pasa, kau nio ikuik?"(1) tanyanya sambil menatapku penuh kasih, seperti biasa.

"Iya, Fitri ikut." Aku tersenyum padanya.

Sebenarnya, mengikuti tua bangka ini ke pasar sungguh sangat membosankan. Entah apa yang ingin ia beli. Berkali-kali bolak-balik ke toko yang sama, hanya karena harga yang ia tawar tak diterima oleh si pedagang. Apa dia tidak lelah? Sudah setua ini, dengan beban tubuh yang cukup berat, serta kaki yang sudah rematik, bahkan seperti orang pincang berjalan.

Demi mengelabui semua orang, aku bahkan rela berperan seperti ini. Menjadi cucu yang baik. Andai dia tahu, bahwa cucu yang ia kasihi itu jiwanya sudah lama mati. Terkubur dalam kebencian dan dendam karena berkat anaknya, yang notabene adalah ayah kandungku sendiri, ibu mati dan tersiksa di kubur sana. Anaknya itu memang sok alim!

"Nek, sudah belanjanya? Nanti Nenek kelelahan," kataku padanya selembut mungkin, karena aku Fitri si anak manis.

"Sabanta, bali bawang lai."(2) jawabnya sambil memegangi lenganku erat, ia hampir terjatuh, karena tak sengaja menginjak batu.

Kuikuti langkahnya, sambil mengamati sekitar. Pasar yang cukup ramai, sudah tercium berbagai macam aroma masakan. Pantas saja, matahari mulai tergelincir ke ufuk barat, beberapa jam lagi waktu mereka berbuka puasa.

Hidungku terasa perih, bahkan langsung menusuk hingga kepala. Bau apa ini? Aku sungguh tak menyukainya. Kuhentikan langkah seketika, mundur perlahan, mencoba mencari jarak agar bau busuk itu tak sampai ke hidung.

Nek Eroh tampak planga plongo mencariku. Ia lalu menoleh ke belakang. Jangan sampai wanita tua itu membungkus benda bau itu. Bawang putih bangsat!

'Kau hanya harus menghindari bawang itu.'

Iblis itu berbisik di telingaku.

" Apa kau tahu cara aku harus menghindar? Jika si tua bangka itu menentengnya bersama dengan kantong-kantong plastik di tanganku ini?"

Aku menggerutu pelan, sambil menatap awas ke sekitar.

Tahan saja napasmu sebentar dan buang bawang itu.'

I N Y I A K [COMPLETE]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang