12. HIDAYAH

890 66 12
                                    

Buyung

Aku telah bertekad, dan hari ini pembuktian untuk Mak. Sebelum subuh mata ini telah terbangun, nyenyak sekali tidur semalam. Segera saja bangkit dan mandi, lalu ke surau lebih awal.

"Upik, kau tak ke surau?" Aku membangunkan Upik, mengetuk pintu kamarnya.

Tak lama Upik keluar, dia tampak terkejut melihatku yang sudah rapi, "Abang mau ke mana subuh-subuh begini?"

"Ya ke suraulah, kau mau ikut tidak?"

Bukannya menjawab, Upik malah menatapku semakin takjub. "Abang sehat-sehat saja kan?" Dia kemudian meletakan punggung tangannya di keningku.

Aku lalu menepis, kurang kerjaan sekali dia. Berani mencandai kakaknya sendiri.

"Hah, kalau kau tak ke surau, biar Abang saja!" Aku lalu pergi meninggalkan Upik yang masih melongo tak percaya.

"Upik lagi berhalangan," jawabnya kemudian, sambil terkekeh.

"Kau kunci pintu, di luar masih gelap," perintahku sebelum benar-benar meninggalkan rumah.

Segar sekali udara subuh ini. Aku melangkah menuju surau, mengenakan celana panjang training dan baju kaos warna putih. Di tengah jalan, tiba-tiba saja dikejutkan oleh perjumpaan dengan seseorang, dia juga tampak terkejut melihatku.

"Bang Buyung?" sapanya saat kami saling mendekat.

"Fitri...?" Rasanya tidak percaya. Apa yang dia lakukan pagi-pagi buta begini? bahkan belum ada satu pun orang yang datang ke surau. Bagaimana bisa ada gadis yang berani keluar di jam seperti ini? Aku menatapnya menyelidik. Ini Fitri atau bukan?

Dia memakai busana serba hitam sambil menunduk.

Ada embusan angin di bulu kuduk, kuberanikan diri melihat kakinya. Konon, jika kau bertemu seseorang yang mencurigakan, jika kakinya mengambang, berarti dia bukan manusia, tapi Fitri, tidak demikian, kakinya bahkan menyentuh tanah. Putih sekali. Sendal jepit yang ia gunakan kontras dengan warna kulitnya, juga dengan gelapnya dini hari.

Cantik sekali dia, benar-benar bagai mutiara yang berkilau dalam kegelapan.

Dia masih tetap diam, dan perlahan mengangkat wajah, lalu menatapku lekat. Dada ini tiba-tiba sesak, degupnya kencang. Apa yang terjadi dengan diriku? Kenapa oksigen seolah tidak ada di sekitar sini? mencoba terus mengendalikan diri. Namun Fitri malah semakin mendekat, ia menggapai tanganku. Rasanya dunia seolah hendak runtuh. Embusan napasnya begitu terasa hangat saat menyentuh wajah ini, ia berinjit, terus mendekatkan wajahnya yang rupawan ke arahku.

Hampir saja ... iya, hampir saja hal itu terjadi, tiba-tiba begitu banyak nyamuk yang mengerubungi. Fitri terkejut saat nyamuk hinggap di hidungnya yang mancung, tetapi ia tak peduli. Sedikit lagi, hal itu akan terjadi. Namun, tubuh ini terhempas jauh ke jalan. Pandangan pun langsung berubah kelam. Sebelum kehilangan kesadaran, aku mendengar auman Inyiak menggelegar di kesunyian.

***

Saat tersadar, tahu-tahu sudah berada di surau. Wajah pertama yang kulihat adalah Buya Dasril.

"Kau tak apa, Yung?" tanya Buya membantuku bangkit.

Aku mengernyit, kepala ini masih agak pusing. Da Zul memberi air minum.

"Buya, tadi saya...." Aku mencoba mengingat-ingat kejadian tadi. Bagaimana cara menyampaikannya? ah, nanti saja. Ini berkaitan dengan Fitri dan juga Inyiak. Banyak orang yang akan mendengar, aku rasa harus mencari waktu berdua saja dengan Buya.

"Kau salat subuhlah dulu, sudah mau habis waktunya," ucap Buya memapahku berdiri.

Selesai salat subuh, aku ditunggui oleh Da Zul dan Bang Andra, dua mahasiswa asal kampung kami. Mereka dari dulu memang remaja aktif di surau ini. Saat libur kuliah, juga tak pernah absen ke surau. Tetapi, tak kulihat Buya Dasril.

I N Y I A K [COMPLETE]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang