9. TAK TERTAHAN

874 67 9
                                    

 Fitri

Akhirnya, bulan itu terlewatkan juga. Melihat mereka bersenang-senang atas kemenangan palsu itu sungguh menggelikan. Tak ada dari mereka yang benar-benar suci, semuanya hanya sok suci!

Ada beberapa dari mereka yang datang berkunjung ke kediaman Nek Eroh. Malas sekali rasanya harus ikut bersandiwara menerima kehadiran mereka. Berbasa-basi, menghidangkan makanan dan minuman. Ingin kuberi racun semuanya, biar kalian cepat mati dan meninggalkan para bayi untuk kusantap.

Sore hari, aku menemani Nek Eroh ke pasar. Banyak warga yang bercerita tentang sebuah kejadian. Mereka menceritakan tentang Inyiak dan preman di gubuk.

tanyaku saat kami sudah selesai berbelanja. Beruntung, tidak ada benda busuk itu. Entahlah, mungkin sudah dibelinya beberapa waktu lalu. Yang jelas, aku tak pernah lagi ingin ke dapur dan berlama-lama di sana. Sungguh, sangat menyiksa!

"Penjaga kampung, wujudnya seperti harimau, besar, matanya bersinar, kalau dia berjalan, ada semacam dua obor api yang mengelilingi. Kalau banyak nyamuk, tandanya dia ada di sekitar kita. " jawab Nek Eroh sambil duduk di teras sebuah toko, menanti angkutan umum untuk pulang.

Aku berdiri saja sambil berpikir, makhluk apa itu?

"Kalau dia sudah keluar menampakkan diri, berarti kampung kita sudah tidak aman. Banyak maksiat yang terjadi. Kau kan dengar tadi, preman itu langsung dapat peringatan, mudah-mudahan setelah ini, kampung aman kembali.


'Fitri, tolong tenangkan dirimu, jangan kau tampakkan dulu, apa yang semestinya belum waktunya diperlihatkan.'

Bedebah ini muncul lagi. Bicara apa kau setan?

"Kenapa kau, Fit?" tanya Nek Eroh tiba-tiba sudah berdiri di sebelahku. Aku sedikit terkejut dan lamunan seketika buyar, dasar setan!

Angkutan umum sudah berjalan maju menghampiri kami. Aku menggeleng, lalu membantunya masuk ke dalam angkutan tersebut.

***

Nek Eroh belum kembali dari surau, aku tidak ikut dan berdalih sedang datang bulan. Padahal tidak. Kudengar suara ribut-ribut di jalan depan rumah.

Hah, Bang Buyung digelandang warga, ada apa? Kuikuti saja rombongan warga tersebut.

"Eh, si Buyung ini, padahal dia gagah, tapi kelakuannya entahlah, tak sama seperti Upik, santun dan rajin beribadah." Salah seorang warga yang berjalan di depanku berbicara dengan teman di sebelahnya.

"Iya karena itulah, tak disangka sampai main perempuan begini, teman-temannya yang lain saja tak kelihatan, tentu saja dia lakukan ini sendiri. Sayang sekali, padahal dia buyut Tuanku Salih." timpal seorang ibu yang lain.

"Pasti mendiang Tuanku Shalih malu, seperti ini perangai buyutnya. Bapaknya juga nakal, tapi hanya berjudi," sahut yang pertama berbicara tadi.

Aku hanya mendengarkan. Siapa itu Tuanku Shalih? Tampaknya orang terpandang di kampung ini. Kenapa mesti disayangkan segala? Terserah orang mau hidup seperti apa? Dasar! Kalian yang sok suci, baru saja pulang dari surau, sudah menggunjingi orang lain.

Bang Buyung dibawa ke rumah Pak Kepala Desa. Apa yang akan mereka lakukan padanya? Dan siapa wanita itu? beruntung tadi sebelum keluar aku sempat memakai mukena, jadi tak terlalu mencurigakan keberadaanku di sini, Lagi pula, langit masih gelap, dan warga cukup ramai, sekitar sepuluh lebih, malas menghitung.

Mereka menginterogasi Bang Buyung yang didudukkan di hadapan Pak Kepala Desa, kemudian gadis berbaju putih itu disebelahnya, ih seperti gadis murahan, rambut acak-acakkan begini. Apa yang dia perbuat dengan lelaki yang kusuka.

Aku mencoba mendekat, mendengar informasi apa saja yang bisa kudapat terkait masalah ini. Bang Buyung tak mungkin melakukan hal serendah itu.

Ah, lihat saja, wanita itu bahkan tak berani menatapnya lagi. Dia menunduk, aku melihat tangan Bang Buyung terkepal, teramat sakit hati sepertinya.

"Ndeh, gadis ini yang murahan ternyata, siapa yang sudah membawanya ke sini? " Ibu-ibu tadi masih saja berceloteh di hadapanku.

Posisi ini sungguh salah.

"Sudah berburuk sangka kita pada Buyung!" timpal temannya yang lain.

"Kau, akan kami antar pulang, tolong dijaga betul dirimu," ujar Pak Kepala Desa mengakhiri sidang.

Wanita itu diantar pulang oleh Kepala Desa didampingi satu stafnya. Warga yang lain pun bubar, dan Bang Buyung, dia pergi dengan marahnya. Tampak sekali dia begitu emosi, wajahnya memerah, tetapi bagiku tetap terlihat tampan.

Aku berusaha mengikuti. Namun, dia terlanjur menghilang. Ke mana? Cepat sekali? Atau aku yang terlalu lamban.

Sesampainya di rumah, Nek Eroh menunggu di teras depan. Hah, nenek tua ini pasti akan mengomel lagi.

"Fit, kau dari mana pakai mukena begini, tadi kuajak pergi ke surau kau bilang sedang berhalangan, sudah pandai berbohong kau sekarang!"

Apaan sih? Biasa sajalah.

"Tadi iseng main keluar. Menghirup udara segar, takut diganggu, makanya pakai mukena. Nenek tenang saja lah, Fitri kan tak ke mana-mana," jawabku sambil tersenyum yang dibuat-buat.

"Kau itu cucuku satu-satunya, aku tak ingin kau kenapa-napa, Fit."

Dia mulai menangis. Drama lagi, lagi dan lagi.

"Nek ... jangan menangis...." Apa yang akan kulakukan? tentu saja memeluknya, supaya sandiwara ini semakin mempesona.

'Kau layak dapat piala Oscar untuk ini!'

Iblis sialan, berhenti mengusikku di saat-saat seperti ini.

"Fit, tolonglah kabari Nenek kalau hendak ke mana-mana, tak bisa Nenek bayangkan bila terjadi apa-apa denganmu, bukannya Nenek melarang, tapi tolong kabari Nenek dulu."

Dia mulai melunak, dan mengusap wajahku, lalu menciumnya.

Ampun! Berhenti melakukan hal ini. Aku membencinya.

***

Aku berjalan menuju surau bersama Nek Eroh. Entah salah lihat atau bagaimana Bang Buyung ada di antara saf laki-laki. Dia dan satu temannya yang santun. Hei, apa yang dia lakukan? Kenapa harus berubah jadi seperti mereka? Aku suka dia yang memberontak seperti biasa.

Dia sesekali juga terlihat sedang mengamatiku. Ingin sekali menghampiri dan mengajaknya berbicara, tetapi ada Nek Eroh, dia pasti akan melarangku.

Upik juga tampak sibuk dengan kegiatan mengajar mengaji, seperti biasa, kadang kami juga pulang bersama. Dia tetap ramah dan aku tak pernah benar-benar menyukainya.

Suatu saat di malam jum'at, kami melewati pertigaan dan ada sesuatu yang bergejolak di dalam tubuhku yang tak lagi tertahankan. Aroma darah bayi itu begitu lezat, aku seolah butuh sekali untuk menghisapnya.

Sesampai di rumah, aku langsung mengunci diri di kamar. Saat Nek Eroh bertanya, kujawab sedang tidak enak badan. Benar, aku tak enak badan, karena membutuhkan darah bayi. Tak mungkin kulakukan aksi itu dari rumah ini. Nenek akan curiga.

***

I N Y I A K [COMPLETE]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang