1. AWAL KISAH

3.2K 140 21
                                    

Pariaman, Maret 1990

Buyung

Aku menutup telinga dan mengempaskan pintu kayu rumah yang sudah reyot itu. Pusing sekali kepala mendengar omelan Mak yang selalu menyeracau di pangkal telinga. Aku hanya ingin tidur, semalam sibuk begadang dengan preman-preman kampung.

Kami biasa berkeliaran di malam hari, membuat keributan, bernyanyi tak karuan, memukul-mukul drum bekas minyak tanah sambil tertawa terbahak-bahak. Tak jarang orang-orang kampung memberanikan diri melempari kami dengan batu, mengusir agar menjauh, karena merasa terganggu. Namun itu tidak membuat kami berhenti, selama hati sedang senang, tidak masalahlah.

Rasa bebas merdeka seperti ini yang membuatku betah berkeliaran dengan mereka. Melakukan apa saja yang kami mau, tidak ada yang mengatur. Orang tua kami juga sudah bosan, bahkan enggan mencari jika sudah berkumpul.

Kalau kehabisan uang? Preman tidak pernah tak punya uang, kami biasa memalak warga. Mereka kebanyakan takut. Mungkin kami amat disegani, ya begitulah yang kami rasa. Tidak ada yang berani datang menasehati, lebih tepatnya sudah tidak ingin, karena terlalu bebal. Jika kami sudah memberontak, bisa porak poranda seisi kampung.

Kepalaku masih berputar-putar saat sore itu datang ke tempat perkumpulan. Sebuah gubuk yang berada di dekat sawah, tak jauh juga dari hutan yang banyak sekali pohon duriannya. Aku langsung saja merebahkan tubuh, tak kupedulikan Ujang dan Dayat yang sedang makan. Mereka sungguh tidak tahu malu, padahal ini bulan puasa. Ya, walau aku juga tak pernah puasa sebenarnya, tetapi masih bisa sedikit menghormati bulan ramadan inilah. Aku tak seperti mereka yang seenaknya saja makan di siang hari. Paling hanya minum atau merokok, itu pun tak kulakukan di depan orang tentunya, yang tidak sebejad kami.

Aku belajar merokok di usia tujuh tahun, bapak yang seorang kuli bangunan, suka sekali merokok di dalam rumah. Melihatnya mengisap rokok itu, rasanya menyenangkan, hingga timbul keinginan juga di dalam hati untuk mencoba.

Mak dan Bapak sering sekali bertengkar, kudengar hanya karena masalah uang. Lalu, Bapak keluar dan membanting pintu kayu reyot rumah kami, dia duduk di teras yang cuma tanah, di atasnya dibuatkan bangku-bangku panjang dari kayu, dilapisi triplek, cukup untuk duduk tiga orang atau kalau tidak, dia akan pergi entah ke mana dan pulang pagi.

Saat mendengar hisapan rokoknya di dalam gelap, Bapak terdengar begitu menikmati tiap embusannya.

Berawal dari melihat Bapak, hingga kini aku pun jadi pecandu rokok, mengisap racun nikotin yang lambat laun bisa membuatku cepat mati.

"Kau puasa ?"

Ujang menyikut kepalaku yang mengenai pantatnya.

Aku menarik kepala menjauh darinya, kemudian melelapkan lagi mata yang masih ingin dipejamkan. Seharusnya sudah cukup waktu yang kuhabiskan untuk tidur, tetapi entah kenapa, pusing ini membuatku masih ingin memejamkan mata.

Semalam kami pesta minum. Akulah yang paling banyak menghabiskan bir, minuman keras yang menjadi candu tersendiri buatku. Mungkin itu sebabnya mengapa sampai saat ini kepala masih berputar-putar.

Sayup-sayup, terdengar Maman datang dengan napas tersengal-sengal.

"Woi, kau kenapa?" Dayat menanyainya, heran melihat Maman seperti itu.

"Orang kampung sebelah itu mau nyerang kita nanti malam," ujar Maman duduk di sebelah Dayat, dia lalu mengatur napas.

"Masalahnya apa?" giliran Ujang yang bertanya.

"Didit, menggoda anak gadis kampung mereka dan itu membuat mereka mengamuk."

"Si Dit itu ke mana?" Dayat terlihat geram.

Maman mengangkat bahu, dia tidak tahu, saat dikejar preman-preman kampung sebelah, mereka lari terpisah.

Ujang menggoyang-goyang bahuku, membangunkan. Aku sudah dengar semuanya, sebab sama sekali tidak tidur, hanya mata ini malas untuk dibuka. Kondisi badanku kurang fit.

Ujang dan Dayat bergegas pergi memanggil preman-preman kampung lainnya, untuk beraksi nanti malam. Dalam bulan puasa ini saja, sudah dua kali kami tawuran. Pemicunya hanya masalah sepele, saling menggoda para gadis dari kampung sebelah, lalu mereka juga melakukan hal yang sama.

***

Lampung, Maret 1989

Fitri

Pukul delapan malam, aku tertidur di kamar Manda, sahabatku, setelah makan malam bersama keluarganya. Sementara Manda tengah asik membaca buku di sebelah.

Aku tak tahu pasti bagaimana kejadian selanjutnya, sebelum mereka membangunkan dan memberitahukan kabar tersebut. Saat itu, perlahan Manda dan mamanya menepuk lenganku. Aku ingat, hati-hati sekali Tante Ratna saat mengucapkan kata demi kata.

Apa pun dan bagaimana pula caranya, kematian orang tua tetap tidak bisa diterima oleh setiap anak di dunia. Aku histeris, berusaha berlari entah ke mana, yang kuinginkan saat itu hanya agar bisa segera sampai pada jasad orang tuaku. Ingin melihat keadaan mereka.

Manda dan orang tuanya mengejar, saat mendapati, Tante Ratna langsung mendekapku erat.

***

Awal kedatanganku ke kampung ini, harus dikatakan, sebenarnya karena tak punya pilihan lain, hingga aku bersedia dibawa ke daerah tempat Ayah dilahirkan. Sulit sekali bagiku menebas bayangan tentang kematian tragis ibu dan ... ayahku. Jika saja, wajah murung dan raut pucat ibu kala itu mampu kusadari akan menjadi pertanda akhir hidupnya, sudah pasti kuhentikan niat Ayah yang berkeras hendak membawa ibuku entah ke mana.

Mengobati!

Aku benci mendengar kata-kata itu. Ingin kuberteriak sekuat-kuatnya, bahwa ibuku tidak sakit pada laki-laki itu.

"Ini sudah takdir, kamu harus bisa menerimanya, Fit."

Saat di pemakaman, Manda masih mencoba menguatkanku.

Mudah bagi siapa pun berkata demikian, namun tidak bagiku. Coba saja kalian rasakan bagaimana menjadi aku, bisakah semua yang seolah-olah berempati akan mengatakan hal yang sama lagi? Seorang gadis yang baru beranjak remaja harus menanggung derita seberat ini. Tak punya keluarga, tak ada saudara. Hanya Nek Eroh. Dia saja yang menjadi satu-satunya keluargaku. Berada bersamanya, kini mengingatkanku pada perbuatan anaknya.

"Kau harus membuang ilmu itu, Sayang. Aku tak ingin kelak kau tersiksa di neraka, karena bersekutu dengan setan. Dan aku... aku tak ingin kita berdua menanggung dosa ini seumur hidup."

"Aku tak mau, Bang! Keluargaku sudah memelihara ilmu ini secara turun temurun. Aku bangga memiliki kelebihan ini!"

"Itu bukan kelebihan, Sayang. Kau memangsa para bayi yang tak berdosa. Apa kau tak punya hati? Bayangkan jika Fitri kita yang dimangsa oleh Kuyang sepertimu. Bisakah kau menerimanya?"

"Bicara apa kamu, Bang! Fitriku tidak akan kenapa-napa! Ia pula yang akan mewarisi ini kelak. Kelebihan yang kupunya sekarang adalah berkat ilmu nenek moyangku. Jika kau tak suka, kenapa kau nikahi aku? Kau bisa tinggalkan aku sekarang!"

"Aku mencintaimu. Sungguh! Aku pun mencintai anak kita. Kalian belahan jiwaku, aku tak bisa hidup tanpa kalian. Tetapi, aku tak ingin kau terus terjerumus ke dalam lembah dosa, Sayang. Kumohon, kumohon... "

Ayah menangis sambil bersimpuh di kaki ibu. Setelah melewatkan sekian masa dengan pertengkaran, akhirnya Ibu mengalah dan mengikuti keinginannya. Tak pernah kubayangkan, kepergian mereka justru untuk selama-lamanya.

***

I N Y I A K [COMPLETE]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang