11. KESEDIHAN MAK

909 71 3
                                    

Buyung

Selesai mandi, aku pergi keluar. Upik belum juga kembali. Mak masih duduk di teras depan.

"Mau ke mana lagi kau, Buyung?" Suara Mak terdengar begitu sedih. Aku tak ingin menghiraukan, karena tidak mau tampak lemah di hadapannya.

"Kau tak hiraukan Mak lagi, Yung! Kau dan Bapak kau sama saja!"

Perkataan Mak tersebut menahan kaki ini untuk melangkah. Aku memutar tubuh dan melihat Mak masuk ke dalam rumah, ia tersandar di pintu. Tubuhnya bergetar menahan tangis, segera saja kukejar dan menghampirinya, menangkap tubuh wanita yang menahan begitu banyak derita, sebagai istri dari Bapak, yang tukang judi dan Ibu dari diriku, yang tak punya jati diri, pun tidak berguna ini.

"Apa salah Mak? Tiap hari tak henti Mak doakan kau berubah, Yung! Cuma kau harapan Mak. Kau yang akan jadi tempat Mak mengadu! Karena kau anak laki-laki Mak satu-satunya, Yung!" Mak menangis terisak dalam pangkuanku.

Aku masih bergeming, menunduk, dan menahan air mata sekuat tenaga.

"Setiap hari pula Mak bermimpi, kelak kau akan menjadi orang yang sukses, berguna bagi bangsa dan negara, apalagi agama. Kau jadi kebanggaan Mak dan adik-adik kau, juga Bapak kau...." Mak memelukku.

Aku tahu, Mak sayang sekali padaku. Entah apa yang membuatnya begitu melankolis akhir-akhir ini, mungkin efek kehamilan. Bapak tak pernah sekali pun memberikan perhatian pada Mak.

"Kau tahu, Yung. Setiap hari Mak berjualan di pasar pagi, hanya sayur-sayuran saja, agar kita bisa makan, lalu Mak sisihkan uang yang diberi Bapak, untuk biaya sekolah Yanti, juga kau! sebab kalau Upik, dia sudah bisa cari uang sendiri dari mengajar les dan mengaji. Mak ada uang, Yung! Kenapa kau tak mau sekolah lagi?"

Mak berkata sambil berlinang air mata mengusap wajah ini berkali-kali dengan kedua tangannya yang hangat.

Sudah lama sekali Mak tidak memperlakukanku seperti ini. Ada bagian terdalam dari lubuk hati yang menjerit, ingin berteriak dan berkata, "aku akan jadi seperti yang Mak mau!".

Tapi tidak bisa terungkap. Hanya air mata yang mampu menjawab gejolak dalam diri ini.

"Yung, berjanjilah Nak. Tolonglah berubah!"

Aku mengusap air mata yang masih berjatuhan di pipi, menatap Mak dengan bola mata yang basah serta merah.

"Janji ya, Nak," ucap Mak lembut sembari terus mengusap wajahku, kali ini dengan sebelah tangan.

Perlahan aku mengangguk. Mak tersenyum dan mencium ubun kepalaku.

"Apaan ini? Mak dengan Abang! Macam sinetron!" Yanti tiba-tiba muncul dari kamar, yang ia tempati dengan Upik.

Dia tampak seperti baru bangun tidur.

"Assalamualaikum. Mak ... Abang ...! Ada apa?" Tak lama Upik pulang dari surau.

"Waalaikumsalam," jawab Mak sambil tersenyum dan mengusap air mata. Aku hanya diam, masih menunduk di hadapan Mak.

"Mak dengan Abang sedang latihan drama, Uni!" jawab Yanti sambil terkekeh dan menghampiriku.

Upik tak terdengar menggubris, ia justru menghampiri Mak dan membantu beliau berdiri, lalu menatapku bingung.

"Eh, Abang pandai juga menangis, aku baru tahu!"

Benar kata Mak, Yanti memang slengean, dia adalah aku versi perempuan. Benar-benar tak peduli dengan apa pun.

"Mulutmu, Yanti!" Geram juga aku mendengarnya.

Dia mencandai di saat kondisi emosi sedang tidak tepat. Aku hampir menarik rambutnya yang pendek dan bergelombang itu.

"Yung, sabarlah!" Jika saja Mak tak melarang. Sudah kutarik rambutnya.

I N Y I A K [COMPLETE]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang