18. SEMESTA MENOLAK

808 70 5
                                    

Buyung

Aku berjalan gontai menuju surau. Rasanya, diri ini akan menjadi seorang pesakitan. Dihadapkan pada Buya oleh adikku sendiri, lalu berpasang-pasang mata akan menyaksikan sidang paripurna untukku.

Berkecamuk sekali perasaanku kali ini. Hanya karena mencintai seorang gadis, aku sampai merasa dipojokkan.

Upik sudah dari tadi pergi ke surau, dia tampak bersemangat dan bersiap melakukan berbagai cara untuk memisahkanku dan Fitri. Pertama kalinya mencintai seseorang, tetapi justru mendatangkan bala untuk diri sendiri.

Memasuki surau, semua tampak biasa. Hanya tatapan Buya serta Ujang yang terkesan berbeda. Aku langsung saja menuju panggung muadzin, sebelumnya juga sudah berwudhu. Azan yang dikumandangkan terdengar baik-baik saja, tetap banyak kaki yang melangkah ringan menuju surau. Hanya saja, perasaanku yang tak tenang.

***

Usai salat, Upik muncul dari balik tirai pemisah saf pria dan wanita. Jamaah sudah mulai sepi. Inikah saatnya, aku justru diantar adik sendiri menuju peradilan.

"Buya, Upik perlu bicara sebentar."

Buya menoleh dan segera berdiri dari duduknya. Aku tak melihat, hanya berdiam diri saja, seolah tidak tahu apa-apa.

Ujang lalu menghampiri.

"Yung, apa yang telah kau lakukan?" bisik Ujang di pangkal telingaku.

Aku bergidik, Ujang saja sampai menanyakan hal ini segala.

"Apa yang kau dengar?" tanyaku tanpa menoleh.

"Kabarnya sudah menyebar, kau dan Fitri berada di semak-semak."

Aku memejamkan mata, siapa yang sudah mengerjaiku? Pantas Upik sekecewa itu padaku. Ia bahkan tak memercayai ucapanku.

"Buya dah tau!" bisik Ujang menambahkan.

Tentu saja Buya sudah tahu, orang-orang tentunya akan mengadukan hal ini padanya.

"Yung...!"

Terdengar suara Buya memanggilku ke sudut ruangan. Dada ini bergemuruh, ada rasa takut menyeruak ke seluruh tubuh. Aku tak melakukan apa-apa! Sungguh ... Hanya saja, jika Inyiak tak datang, mungkin perbuatan kami sudah benar-benar menimbulkan petaka baru di kampung ini. Kesadaranku penuh akan hal itu. Namun entah mengapa keinginan untuk berjumpa, berdekatan bahkan berani menyentuhnya begitu kuat dari dalam diri.

"Ada apa, Buya?"

Aku ikut duduk bersila di hadapan beliau, di sisi Upik, yang menatap penuh rasa kecewa. Masih dengan upaya, berpura-pura seolah tidak tahu apa-apa.

"Seharusnya kau sudah paham maksud Buya memanggilmu, Yung."

Aku hanya menunduk. Tidak ada anggukan atau gelengan.

"Buya harap, kau bersedia jujur mengelarifikasinya pada Buya!"

Masih menunduk, dan belum juga ada anggukan atau gelengan. Namun, Buya tampak tak memedulikan respons dariku.

"Kau tahu, beberapa hari belakangan, banyak pengaduan yang datang pada Buya. Dan itu berkenaan dengan prilakumu, Yung!" Buya diam sejenak, menatapku lekat.

Aku sempat mengangkat wajah, lalu kembali tertunduk.

"Kau tahu posisi Buya di sini sebagai apa?"

"Guru saya, Buya." Aku menjawab dengan kepala masih tertunduk.

"Jadi jangan heran kenapa warga kampung mengadukannya pada Buya!"

Hening seketika, Buya terdengar menghela napas panjang.

I N Y I A K [COMPLETE]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang