8. OBOR API

964 68 13
                                    

Buyung

Waktu begitu cepat berputar, bulan puasa telah berlalu. Idul Fitri pun telah terlewati beberapa minggu. Kini sudah berada di penghujung bulan syawal. Bagi yang menjalankan ibadah sesuai dengan tuntunan agama, tentu mereka akan kembali seperti bayi yang baru lahir. Namun, tidak bagi kami. Tidak ada yang berarti.

Beberapa bandit kampung sudah kembali muncul di gubuk. Dayat, Maman, Didit, dan Hendra. Mereka sudah pulih betul. Biasanya hanya aku dan Ujang saja yang duduk santai di gubuk. Seperti biasa, minum-minum dan begadang. Tak seru memang kalau tidak ramai seperti malam ini.

"Aku pergi sebentar ya," ujar Hendra disela-sela obrolan seru kami.

"Mau ke mana kau? " tanya Ujang heran.

Tampang Hendra begitu mencurigakan. Seperti ada sesuatu yang sudah ia rencanakan.

"Aku punya kejutan! " Hendra kemudian berbalik sambil nyengir.

Kami lalu melanjutkan aktivitas masing-masing, tak begitu menghiraukannya. Asik tertawa terbahak-bahak, hingga malam semakin larut.

Dua jam kemudian, Hendra kembali, sekitar pukul sebelas malam. Dia tidak datang sendiri, ada seseorang yang digandeng. Seorang gadis cantik, dari tampangnya seperti sedang mabuk. Aku dan Ujang terbelalak. Ini kali pertama bandit kampung berani membawa gadis ke gubuk. Belum pernah sejarahnya hal demikian terjadi.

Sementara yang lain, tertawa cekikikan. Mereka seakan senang dengan suguhan yang dibawakan oleh Hendra.

"Siapa ini, Hen? Cantik, putih, mulus dan 'besar'! " Didit mengeluarkan lidahnya, nampaknya sudah tergiur.

Menjijikkan sekali. Otak mereka semua mesum.

Gadis yang dibawa Hendra diusungnya masuk ke dalam gubuk. Dia tentu menurut, dengan dirinya saja dia mungkin tidak tahu sekarang.

Gadis itu memakai baju kaos warna putih dan rok span hitam selutut. Entah bagaimana Hendra bisa bertemu dengannya. Dia jelas bukan warga kampung kami. Dia memang terlihat cantik, rambutnya panjang terurai, putih mulus kulitnya dan memang bahenol, atas bawah besar.

Aku dan Ujang, resah. Urusan yang lain, mungkin kami sesama bandit kampung akan satu selera, tetapi untuk yang satu ini, merusak anak gadis orang, aku memilih tidak mau ikut-ikutan, begitu pun dengan Ujang. Jika hanya sekedar menggoda, menyiul-nyiulkan tidak masalah, aku pun sering. Walau kini intensitasnya sudah sangat jauh berkurang.

Ini perbuatan paling tercela, "Woi, mau kau apakan gadis itu?" sergahku panik. Saat kuintip ke dalam gubuk, Didit, Maman, dan Hendra mulai meraba-raba si gadis yang tampak fly, mabuk berat.

Wajah mereka liar, seperti anjing yang diberi tulang oleh tuannya.

"Ini gadis, Yung. Kapan lagi mencoba? " jawab Didit sambil tersenyum liar.

"Kalau lakukan yang lain hajar saja, tapi jika bermain perempuan begini, janganlah!" lanjut Ujang, mengatakan sesuatu yang sangat ingin kuutarakan.

"Kamu berdua ini kenapa? Normal? " Hendra ikut menimpali. Dia menatap kami heran.

Mereka tetap tidak mau mendengarkan. Aku dan Ujang berdiri menjauh dari gubuk. Perasaanku mulai tidak enak.

"Bagaimana ini, Yung? Mereka sudah kelewatan batas!" Ujang juga tampak gusar. Sesekali diintipnya ke dalam gubuk, tentu tak tampak jelas. Pencahayaannya tak begitu terang, hanya ada lampu jalan, cahayanya pun kuning keemasan.

"Kok banyak nyamuk? Apa gadis yang kau bawa ini tidak mandi, Hen?" gerutu Maman sambil terdengar menepuk-nepuk kulitnya, digigit nyamuk.

Aku dan Ujang juga merasakan hal yang sama.

I N Y I A K [COMPLETE]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang