25. TERBONGKARNYA KEDOK SANG PALASIK

850 71 2
                                    

Fitri

Saat masuk ke dalam rumah, aku terkejut melihat Nek Eroh duduk di meja tengah persis depan kamarku. Dia tak pernah biasanya bangun di jam segini, paling tidak nanti pukul tiga dini hari. Sekarang masih jam satu malam. Wajahnya terlihat menahan marah, ia menatapku tajam.

"Dari ma kau, Pit?" tanyanya dengan suara tegas.

Apa yang harus kujawab? Ah, aku kehilangan alasan, jika terdesak begini. Iblis, di mana dia?

"Den tanyo, dari ma kau, Pit?"

Nek Eroh bahkan setengah berteriak, suaranya bergetar, air matanya sudah mengucur. Ia sempat memukul meja, lalu menunduk menahan kemarahan. Bisa terlihat, bahunya masih berguncang, sekuat tenaga ia mencoba mengusir kemarahan dan tangisan.

Sementara aku, masih terdiam di dekat pintu dapur menuju ruang tengah.

"Jadi batua, kau palasik tu, Pit. Ya Allah, apo salah ambo?"

Aku terkejut mendengar ucapan Nek Eroh barusan. Dari mana dia tahu? Ia bahkan menangis terisak sendiri. Apa? Siapa yang telah mengetahui kedokku dan memberitahukan padanya?

Wajahku memucat, bibir ini kelu, darah pun berdesir hebat hingga ubun-ubun.

"Dari ma kau dapatkan turunan palasik ini, hah! anakku takkan menuntut ilmu hitam seperti itu!"

Nek Eroh berteriak marah. Aku terkejut, kali pertama ia membentak. Wajahnya menegang, sorot mata pun penuh kebencian.

"Fitri..."

Ah, aku tak tahu harus bicara apa, hanya bisa menunduk.

"Apuih darah dakek suduik muncuang kau tu! Anak sia nan lah kau makan? Si Pijah?" tanya Nek Eroh masih dalam keadaan emosi.

Aku tersentak, dan langsung menghapus sisa darah bayi Pijah. Bagaimana aku bisa lupa untuk membersihkannya terlebih dahulu?

"Aden lah lamo curiga ka kau! Dari bawang putiah yang taruih kau campakkan. Aden acok mandanga kau masuak tangah malam ka rumah, bisuaknyo taranga lo kuduang mamakan bayi urang. Pagi patang, waktu si Pijah malahiaan di siko, aden taranga kau maanduih-anduih bantuak anjiang. Kironyo batua firasat den, kau kalua dan pulang lah bantuak setan!"

Wanita tua ini terus mengeluarkan kemarahannya. Aku mendengarkan sambil menunduk. Antara takut dan marah. Kukepalkan tangan ini kuat-kuat.

"Pasti induak kau yang manurunannyo kan? anak den ndak mungkin. Induak kau memang ndak tau jo agamo, pantas kau model iko, Pit!"

Dia mulai berteriak lagi, sambil berurai air mata.

Darahku menggelegar mendengar ibumu disebut-sebut seperti itu. Sehina-hinanya, dia tetap ibuku. Ibu juga mati karena ulah anaknya yang sok alim. Aku menatapnya sinis, seolah ingin mencekik hingga mati, menyusul anak sialannya itu.

"Jangan bicara buruk tentang ibuku!"

Aku mendekati, rasanya hati ini begitu sakit. Ia tampak gemetar melihatku, mungkinkah saat ini rupaku seperti setan. Entahlah, tapi rasanya, begitu.

"Ibuku mati karena anakmu! Dan aku sangat membenci pria itu. Sekarang kau membuatku benar-benar marah!"

Perlahan satu tangan ini sudah terjulur, hingga menyentuh lehernya. Lalu segera mencekik wanita tua itu, ia ketakutan. Berusaha melepaskan tanganku, terdengar bunyi gesekan kaki kursi dengan lantai, hingga ia terjatuh kemudian.

Wanita tua itu tampak mengatur napasnya yang sesak, karena beberapa menit tercekat oleh cekikkanku di lehernya. Aku menyepak tubuh gempal ini, hingga telentang ke lantai, lalu menginjak lehernya dengan kaki.

I N Y I A K [COMPLETE]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang