23. BERHATI-HATI

792 75 4
                                    


 Buyung

Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.

 Buyung

Buya tampak berpikir sejenak, setelah selesai meruqyah Upik. Ba'da subuh, Buya datang bersama Ujang --yang memberitahu beliau tentang Upik.

Semalam Upik memang tertidur cukup pulas, saat bangun subuh pun, keadaannya tampak tak memburuk, walau masih mengeluh sedikit pusing, serta mual. Kedatangan Buya ke rumah tentu mendulang tanya bagi Mak, langsung saja kujelaskan kejadian yang menimpa Upik semalam. Dan meminta Mak untuk tidak usah panik.

"Baru saja Bapak kau meninggal, sekarang Upik kena gangguan macam ini pula."

Aku paham Mak terguncang, bahasa tubuh yang ia perlihatkan memang menampakkan, betapa ia pun sangat takut. Mak tersandar di daun pintu kamar, lalu beringsut masuk ke dalam, merebahkan badan.

"Yung, kau jaga diri baik-baik, Nak. Hanya kau pelindung adik-adik kau dan Mak sekarang." Ia berucap sebelum kembali memejamkan mata. Mak tak tidur, ia hanya berusaha meredam kegelisahan.

"Yung." Buya memanggilku, yang duduk di sebelahnya. Ia seolah baru saja selesai bercengkerama dengan pikirannya sendiri.

"Iya, Buya." Aku berpindah ke hadapan Buya, Ujang pun mengikut. Sementara Upik tampak cukup tenang dan ia tertidur di ruang depan, dan masih berbalut mukena lengkap. Yanti duduk di dekat pintu kamar Mak, ia pun masih menggunakan mukena.

"Ujang sempat bercerita soal Inyiak dan bola api semalam," kata Buya mengawali pembicaraan.

Aku mengangguk, ini hal penting yang harus diketahui Buya.

"Setelah penyerangan yang pernah dialami Upik langsung, sekarang ia diganggu dengan cara halus. Pelakunya mestilah orang yang sama dan tak ada hubungan dengan pembunuh Bapak kau."

Aku menatap Buya serius dan tahu jika ini bukanlah serangan dari orang yang sama –bukan Kaperen yang ingin menyelakai Upik.

"Kau bisa memahami maksud Buya?" Aku mengangguk, tentu saja.

"Buya tidak begitu bisa membaca motifnya apa, sebab Upik tipikal gadis yang baik dan semestinya tak punya musuh." Buya diam sejenak, tampak kembali berpikir.

"Bisa saja Upik tak menyakiti hati seseorang secara langsung, Buya." Ujang menimpali. Aku sontak memutar wajah ke arahnya.

"Apa maksudmu?" tanyaku tak mengerti.

"Upik gadis yang cantik, budinya baik, pintar dalam segala hal. Bisa saja ada yang membencinya, maksudku iri."

Mendengar penuturan Ujang, aku dan Buya saling tatap.

"Buya memikirkan hal itu juga, hanya saja selama ini tak pernah ada yang nekat melakukannya. Apalagi saat kau jadi bandit kampung, Yung! Musuh kau tentu banyak."

Buya menekankan kalimat terakhir itu padaku dan juga Ujang, membuat kami seketika tertunduk malu, jika ingat semua yang pernah dilakukan dulu.

"Tak banyak gadis seumuran Upik di kampung ini." Buya menambahkan.

I N Y I A K [COMPLETE]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang