10. TEROR PALASIK

902 68 4
                                    

Buyung

Setelah kejadian malam itu, aku jadi jarang kumpul di gubuk. Tempat yang membuatku tidak nyaman untuk sementara dan entah mengapa, kini aku pun disibukkan dengan kegiatan di tempat yang juga pernah ditinggalkan sebelumnya, yaitu surau.

Setelah menghajar Hendra, kakiku malah mengayun ke surau, tempat banyak anak yang sedang belajar silek. Buya melihatku dan Ujang. Tak ada pilihan lain, kami duduk menunggu Buya di teras surau, beliau yang meminta untuk tetap tenang di sana, sementara ia melatih anak-anak dibantu oleh Bang Andra, yang kebetulan sedang berada di kampung.

"Sudah lama sekali Buya menanti kembalinya kalian ke sini. Surau tampak begitu lengang tanpa kalian."

Buya berseru saat semua anak-anak sudah bubar dan pulang bersama orang tua mereka yang menjemput.

Ada juga dari mereka yang pulang bergerombol, tetapi Bang Andra menemani sampai mereka tiba di rumah masing-masing.

"Iya, Buya!" jawabku dan Ujang serentak, sambil menunduk.

"Angin apa yang membawa kalian ke sini? Jujur saja Buya sangat penasaran."

Aku dan Ujang saling bertatapan. Angin apa? Tidak ada angin! Hanya kaki kami saja yang bergerak otomatis.

"Kau tampak sehat, Yung! Kau juga, Jang!"

Karena tak ada jawaban dari kami, Buya pun mengalihkan pembicaraan. Ia mengambil tempat duduk di antara aku dan Ujang, sambil terus tersenyum melihat kami yang betah menunduk.

Buya sangat kami segani dan hormati. Aku dan bandit kampung, semasa kecil juga menjadi murid beliau, mengaji dan bersilat. Namun, seiring dengan perkembangan, yang nakal seperti kami memang berbelok dari ajaran Buya. Sementara yang tetap bertahan justru menjadi orang-orang berpendidikan dan baik akhlaknya.

Bukan tidak pernah Buya memanggil, tetapi kami selalu berusaha menghindar jika melihatnya dari kejauhan. Begitu pun, jika setiap kali terdengar suara motor butut Buya, yang kami tandai menuju gubuk. Segera saja, tanpa komando, kami bersembunyi dan menyebar. Menghilangkan jejak keberadaan di sana. Beliau pun letih sendiri, tak lagi ingin memedulikan kami.

"Tidurlah di sini, si Kar juga sudah kembali tidur di surau. Buya tahu kalian pasti ingin kembali!"

Buya menepuk-nepuk pundakku dan Ujang, sebelum berdiri dan masuk ke dalam surau. Kami masih mematung di tempat itu, seolah ada perekat di pantat ini yang membuat kami tak bisa beranjak.

"Yuang, Jang, masuklah!"

Ajo Kar tiba-tiba saja sudah berdiri di sisiku.

Buya pun juga keluar, sambil membawa plastik hitam lalu menggantungnya di sepeda motor butut yang ia kendarai ke mana-mana itu.

"Buya pulang dulu, insyaallah subuh kita bertemu. Assalamualaikum!" Buya tersenyum dan menghidupkan mesin sepeda motor.

"Waalaikumsalam, Buya!" jawabku, Ujang, dan Ajo Kar serentak.

Tak ada bantahan! Aku dan Ujang justru patuh saja dan masuk ke dalam surau bersama Ajo Kar.

***

Seminggu lamanya, aktifitas di surau berjalan normal. Normal! Iya, hal demikian membuat kebosanan mulai merayapi diri kami. Aku dan Ujang berencana menyelinap keluar dan tak kembali lagi ke surau.

"Ndeh, bosan sekali rasanya, Yung. Tak tertantang hidupku di surau itu. Salat, mengaji, begitu saja terus.!" ujar Ujang di sela-sela langkah kami yang setengah berlari.

"Aku juga, " jawabku singkat.

Kami lalu merencanakan untuk melarikan diri. Padahal Buya saja tak pernah mengurung kami di sana. Ia hanya meminta untuk tetap duduk di surau dan kami seolah merasa terjerat dengan perkataan demikian. Tentu saja tidak ada paksaan dalam hal ini, tetapi kembali kutekankan, betapa Buya menjadi sosok yang begitu dihargai dan dihormati. Dengan berkata saja, ia mampu menjerat kami, maksudku membuat kami merasa terjerat.

I N Y I A K [COMPLETE]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang