1. Bayangan

22.3K 1.3K 170
                                    

Yang pertama selalu menegangkan. Kadang juga menyenangkan. Dan seringnya tak terlupakan.

Namun sayang, ia tidak selalu memiliki akhir yang indah.

Kosong. Dari awal membuka mata, Anka tahu ruangan ini tidak berpenghuni. Hanya ada dirinya bersama segala kenangan tentang rumah ini, setelah seluruh keluarganya memutuskan untuk pindah ke Bandung. Kehampaan langsung menyergap tanpa ampun, membuatnya hanya bisa menghela napas dalam-dalam dan kembali memejam.

Anka membiarkan dirinya mengumpulkan seluruh oksigen yang bisa dihirupnya dari ruangan ini, sementara hatinya masih mempersiapkan diri. Keadaan ini sudah berlangsung setidaknya dua minggu, tapi Anka masih sangat tidak terbiasa. Apalagi hari ini adalah hari pertama sekolah, yang berarti dia harus menyiapkan semuanya sendirian dan berjuang menghadapi keramaian sekolah yang terkadang membuatnya pusing.

Setidaknya sudah empat tahun, kalau Anka tidak salah ingat, dia terbiasa dengan kesendirian. Masih ada Bora, sahabat terbaiknya yang selalu ceria dan senang bercerita. Namun, interaksinya dengan orang lain semakin terbatas. Keributan di sekitarnya kadang akan membuat kepalanya sakit, telinganya berdenging, dan lama kelamaan, kesadarannya seolah direnggut kembali ke kejadian yang tak akan pernah terlupakan di hidupnya. Oleh karena itu, sebisa mungkin, Anka akan menghindari keramaian.

Ponselnya yang berdering membuat Anka merasa terselamatkan sekarang. Dia meraih benda itu dari nakas dan langsung tersenyum begitu melihat nama Bora di layar. Baik dulu atau sekarang, Bora selalu menjadi penyelamatnya. Entah bagaimana harus menggambarkan rasa syukur Anka karena memiliki sahabat seperti Bora. Dia hanya berharap sahabatnya itu tahu kenyataan ini.

"Gue mau jadi alarm buat lo di hari pertama sekolah. Nggak ada yang bangunin, kan, di rumah? Itu gunanya gue nelepon sekarang," cerocos Bora tanpa merasa perlu berbasa-basi.

Anka tetap menggeleng-geleng, walau tahu Bora tidak bisa melihat gerakannya saat ini. Dia hanya tidak habis pikir dengan sahabatnya, yang selalu sanggup memancing tawanya dan mencairkan suasana. Kadang hanya sebatas kepercayaan diri yang berlebih, atau kecerobohan yang kelewat batas. Apa pun itu, intinya, Bora adalah sumber keceriaan buat Anka.

"Biasanya juga gue yang bangunin lo, Yong. Lo sekali ketemu kasur kayak kembar siam aja sok-sok bangunin gue sekarang." Anka berusaha mempertahankan suaranya sambil menarik diri bangun dari tempat tidur.

Di seberang sambungan, Bora terkekeh. Anka tahu, apa pun yang diucapkannya, sesinis apa pun nada yang dipakainya, Bora akan bisa menanggapi dengan santai. Menurutnya, Anka sudah sangat mengenal dirinya, jadi apa pun yang dikatakan sahabatnya itu, sudah pasti berupa fakta. Memang begitu adanya Bora.

"Lagi-lagi gue mau bilang, you know me too well," jawab Bora, membuat keduanya terkekeh. Kini Anka bergerak menuju lemari pakaian, berniat menyiapkan seragam, tapi tangannya mengatung di udara saat ucapan Bora selanjutnya terdengar. "Lo beneran nggak apa-apa, kan?"

Anka menarik napas sejenak. Hanya kalimat sederhana, tapi dia tahu betul maksud pertanyaan Bora barusan lebih rumit dari yang terdengar. Ada kekhawatiran, keraguan, juga empati yang dalam. Dari semua orang, selain keluarganya, hanya Bora yang tahu seluk-beluk hidup Anka, sampai kenangan terburuk dan kejadian yang paling membuatnya terpukul.

"Udah dua minggu, Yong," Anka menjawab sekenanya.

"Bahkan berbulan-bulan pun gue nggak yakin cukup kalau orangnya itu lo, Ka."

Bora sadar betul akan omongannya tadi. Bukan bermaksud merendahkan, atau mendoakan supaya Anka benar-benar tidak baik-baik saja meski sudah berbulan-bulan. Hanya saja, sifat sahabatnya ini yang terlalu pemikir dan susah melupakan, menambah buruk semua kenangan yang harusnya bisa dihapus dengan mudah supaya hidupnya lebih nyaman. Bagi orang-orang seperti Anka, proses itu akan berjalan alot dan semakin menyiksa.

Dear Past, Let Me GoTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang