25. Duka Kenyataan

2.6K 324 73
                                    

Kenyataan itu kadang seperti jarum. Mungkin sakit, tapi bisa juga menyembuhkan.

Tanya aja sama panutan lo itu, dan lo akan tau dia masih pantes dianggap pahlawan apa nggak. Kalimat itu tidak henti-hentinya berputar di kepala Tisya. Jelas itu ditujukan pada ayahnya dan jelas pula seberapa besar Brav tidak menyukai sosok yang selalu Tisya banggakan, bahkan mungkin bisa dibilang sangat benci. Apa alasannya, itu yang tidak dia ketahui. Namun kalimat itu membuat Tisya tidak bisa tenang. Dengan cara lain, Brav mungkin ingin bilang kalau ayah Tisya tidak sebaik yang dia kira.

Memikirkan ayahnya melakukan sesuatu yang jahat membuat Tisya ngeri. Bagaimana bisa seorang ayah yang sangat baik, yang selalu ada untuk keluarganya melakukan hal yang bertolak belakang, yang menyakiti orang lain? Bagaimanapun dipikir, Tisya tidak bisa menemukan titik itu. Dia yakin ayahnya memang sebaik apa yang selama ini ada di ingatannya, tidak berbeda seperti yang dikatakan Brav.

Anak kecil yang duduk di pundak ayahnya menarik perhatian Tisya begitu saja ketika mereka lewat di depannya. Kepalanya refleks menoleh, mengikuti langkah ayah dan anaknya itu, dan seulas senyum mengembang begitu saja di wajahnya. Rasanya masih segar di ingatan Tisya bagaimana dia juga digendong seperti itu oleh ayahnya.

Dulu, waktu Tisya kecil masih belum sefeminin sekarang, dia sangat suka menonton pertandingan, bahkan bermain sepak bola. Ibunya selalu melarang, tapi ayahnya yang selalu membawa Tisya menonton pertandingan-pertandingan yang ada, juga mengajarkan anak perempuannya cara menendang bola dengan benar. Selama menonton pertandingan, Tisya selalu berada di pundak ayahnya. Selelah apa pun ayahnya, Tisya tidak akan dibiarkan turun karena takut anak mungilnya terdesak oleh banyak orang. Mereka akan teriak bersama ketika ada gol dari tim favorit, dan bersorak bersama merayakan kemenangan.

Ayahnya bahkan berhasil memintakan tanda tangan pemain yang Tisya suka dulu. Bukan hal yang mudah, tapi beliau melakukannya untuk Tisya. Pernah juga ayahnya menjadi badut, memakai kostum kartun favorit Tisya, hanya untuk membuat anaknya tertawa bahagia. Ayahnya selalu melakukan apa saja, tanpa pernah mengecewakannya. Lalu setelah semua yang dilakukan beliau, mana mungkin Tisya bisa percaya kalau ayahnya orang yang jahat?

Tisya menggeleng-geleng, berusaha mengusir semua pikiran yang memenuhi otaknya. Sepanjang jalan pulang, dia menendang kerikil-kerikil di depannya, seolah semua itu adalah kemungkinan jahat yang sedang memenuhi pikirannya saat ini. Dia tahu itu tidak ada gunanya, tapi manusia selalu butuh pelampiasan, kan?

Ribut-ribut dari dalam rumahnya membuat langkah Tisya terhenti begitu saja. Dia belum sempat mendengar apa pun, baru tiba di depan pagar dan ayahnya sudah keluar dari rumah dan segera masuk ke mobil. Tanpa melihat ke arahnya sedikit pun, mesin mobil dinyalakan dan ayahnya segera melaju di jalanan. Tidak berapa lama kemudian, ibunya menyusul di belakang.

"Papamu sudah pergi?" tanya ibunya sambil celingukan.

Tisya mengangguk pelan, masih tidak mengerti dengan keadaan saat ini. Lalu tanpa berkata-kata lagi, hanya mendecak kencang satu kali, ibunya ikut melajukan mobil, menyusul ayahnya. Tisya hanya bisa bergeming melihat mobil orang tuanya berlalu begitu saja. Tidak ada penjelasan, juga tidak ada pesan apa pun. Baru kali ini mereka seperti itu pada Tisya. Apalagi suasana terakhir yang terdengar seperti keributan, membuat perasaan Tisya benar-benar tidak bisa tenang.

Dengan langkah lambat, Tisya masuk ke rumahnya. Kamar orang tuanya terbuka lebar, tidak seperti biasanya. Entah tindakannya ini benar atau tidak, tapi Tisya tidak bisa mengendalikan rasa ingin tahu yang sangat besar saat ini.

Hal pertama yang menarik perhatian Tisya ketika sudah berada di dalam kamar orang tuanya adalah meja yang berantakan. Dia tahu orang tuanya adalah penyuka kerapian, dan ini bisa jadi pertanda buruk. Di meja itu, ada beberapa foto yang berserakan. Semua foto itu membuat kening Tisya berkerut. Ayahnya tersenyum lebar di sana sambil menggendong seorang anak, tapi anak itu bukan dirinya. Yang bersandar di lengan ayahnya juga bukan ibunya.

Dear Past, Let Me GoTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang