28. Kerumitan Hati

1.9K 298 70
                                    

Hati tidak akan pernah bisa hanya dikuasai rasa tunggal. Ia selalu memiliki perdebatannya sendiri.

Mungkin segala hal memang punya masa kedaluwarsanya, termasuk kebahagiaan dan ketenangan di rumah ini. Tisya menghela napas dalam-dalam ketika suara ribut-ribut kembali terdengar dari lantai bawah. Sepertinya orang tuanya baru akan memasuki rumah, tapi mereka sudah saling adu argumen dengan volume suara tinggi.

Sesaat Tisya tercenung. Sejak kecil, dia tidak pernah tahu bagaimana rasanya hidup di keluarga yang tidak tenang. Setiap ada temannya yang bercerita kalau orang tua mereka bertengkar, Tisya selalu menebak-nebak seperti apa keadaannya lalu bingung bagaimana harus menghibur. Karena orang tuanya selalu terlihat bahagia, bisa saling mengerti dan selalu memberi perhatian tanpa akhir, bahkan pada hal terkecil.

Namun kini, dia mengerti dengan semua yang pernah teman-temannya ceritakan. Tisya akhirnya tahu keadaan seperti apa yang membuat teman-temannya menangis sampai sulit ditenangkan. Dia tahu bagaimana tidak nyamannya mendengar suara-suara melengking yang terus memekakkan telinga. Untuk saat ini, dia merasakan apa yang teman-temannya inginkan, menghilang dari keadaan ini, dari kenyataan buruk ini.

"Aku itu tanggung jawab! Dulu kamu yang selalu singgung sifat itu, kenapa sekarang malah marah-marah?!" Gilbert, ayah Tisya, kembali berseru nyaring.

"Kamu nggak usah tanggung jawab untuk masalah itu. Dia udah bukan urusan kamu!" seru Eva tak mau kalah.

Dari atas, Tisya memejam erat-erat. Dia tidak tahu pasti apa yang menjadi bahan pertengkaran orang tuanya. Dia hanya bisa menebak kalau itu tentang Brav, mengingat sebelum ini tidak pernah ada masalah apa-apa. Sebelum foto keluarga lama ayahnya muncul di kamar orang tuanya. Setidaknya itu yang Tisya tahu.

Perlahan, Tisya melarikan langkahnya keluar dari kamar. Dia mengendap-endap di tangga untuk melihat orang tuanya yang sedang adu mulut.  Tisya sendiri tidak tahu kenapa harus mengintip di sini, padahal bisa saja dia menutup rapat telinganya dengan bantal atau earphone. Tinggal mengencangkan volume musik dan semua kekacauan ini akan berakhir. Namun dia tahu, itu semua semu. Masalahnya tidak benar-benar selesai. Keadaan rumahnya tidak benar-benar kembali damai.

Ekspresi kedua orang tuanya terlihat sama-sama menyeramkan. Muka memerah dengan mata membelalak. Benar-benar berbeda dari yang biasa dilihatnya. Hilang sudah semua gambaran orang tua yang lembut dan penuh kasih sayang di ingatan Tisya selama ini. Kini semua berubah kacau, berganti dengan keadaan yang terasa begitu asing baginya.

"Gimanapun dia anakku! Rona bunuh diri setelah kami bercerai, dan sekarang yang anak itu punya hanya Ibu, yang sudah tua. Aku masih punya nurani untuk mengurus mereka, Va!" Gilbert kembali menyelak.

Tisya terkesiap. Fakta yang baru saja didengarnya sama sekali tidak bisa diterima otaknya. Ibu Brav bunuh diri karena ... ditinggalkan ayahnya? Pantas saja Brav sebenci itu pada ayahnya, juga pada Tisya. Kenyataan ini terasa semakin menyakitkan. Bukan hanya dipaksa mengetahui kalau dia bukan satu-satunya anak ayahnya, seperti yang selama ini selalu diceritakan padanya, tapi juga digiring pada fakta kalau kebahagiaannya sudah menghancurkan kehidupan orang lain.

"Anak kamu cuma Tisya! Jangan macam-macam kamu. Waktu kamu putusin untuk pilih aku dan Tisya, mereka udah bukan lagi bagian hidup kamu. Apa pun yang terjadi pada mereka bukan lagi urusanmu!"

Gilbert membuka mulut, hendak menjawab, tapi kata-katanya ditelan kembali. Mungkin sadar kalau omongan Eva benar, atau menyesal dengan keputusannya dulu, atau hanya terlalu lelah berdebat. Entahlah. Tisya hanya bisa menarik kesimpulan sendiri tanpa benar-benar tahu apa yang terjadi dulu dan sekarang. Dia hanya sibuk menata hatinya sejak tadi, walau nyatanya tidak berhasil sama sekali.

Dear Past, Let Me GoTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang