36. Dengan Cara yang Berbeda

1.7K 256 45
                                    

Untuk jadi lebih baik, mungkin yang kita butuhkan hanya perspektif baru.

"Brav," panggil Anka ketika mereka sedang duduk di kelasnya.

Dengan mulut yang masih mengunyah, Brav menggumamkan jawaban. Sudah tiga hari ini dia dan Anka makan roti dan minum susu kotak bersama di kelas cewek itu. Semenjak mendapat solusi itu, Brav menjadikannya kebiasaan baru. Lumayan, makan gratis, bersama Anka pula. Jadi banyak cerita yang bisa dia dengar karena cewek itu juga sepertinya sudah semakin membuka diri.

"Lo nggak pernah nanya tentang Rama."

Ada nada menggantung di ujung ucapan Anka yang membuat Brav bingung. Dia menunggu sekian detik, siapa tahu cewek itu akan menyambung kembali omongannya, tapi tidak. Anka tetap bergeming sambil mengunyah rotinya lambat-lambat. Tatapannya terarah ke depan, tapi tidak kosong seperti biasa.

"Kenapa? Pengin dicemburuin, ya?" tanya Brav usil.

Anka menoleh dengan mata menyipit, membuat tawa berhasil lolos dari mulut Brav. Sudah lama juga tidak melihat ekspresi begitu dari Anka. Dia jadi rindu. Omong-omong, sudah berapa lama waktu mereka lewati tanpa interaksi seperti dulu? Rasanya sudah benar-benar lama. Semua mulai berubah. Dan kini ke arah yang lebih baik, walau sebelumnya sempat berada di titik paling krisis dari sudut pandang Brav.

"Kan lo udah ceritain semua tentang dia, Ka," jawab Brav, kini agak serius. Dia ingat persis bagaimana campur aduk perasaannya ketika Anka menceritakan tentang Rama.

"Dan lo nggak pernah nanya apa-apa lagi habis itu." Anka kembali termenung.

Melihat itu, Brav menghentikan kunyahannya dan menggeser tubuh hingga menghadap Anka sepenuhnya. Ada sesuatu dengan cewek itu. Sepertinya ada yang ingin diceritakannya, cuma mungkin bingung harus mulai dari mana. "Lo beneran kecewa karena gue kelihatan nggak cemburu gitu, ya?"

Ketika mendapat respons yang sama persis dengan pertama kali tadi, Brav kembali tergelak. "Gue nggak mau nanya apa-apa karena kayaknya lo nggak nyaman ngebahas orang itu, Ka. Lagian, gue cukup nggak pede harus ngebahas dia dan apa yang udah dilakuinnya terakhir kali."

Mata Anka melebar dengan alis terangkat. "Lo? Nggak pede?" tanyanya tidak percaya.

Brav menggumam. Anggukannya memperjelas semuanya. "Aneh, kan, orang kayak gue bisa nggak pede tiba-tiba? Tapi ya mau gimana lagi, di depan gue dia nyelamatin lo. Walau gue juga bakal ngelakuin hal yang sama, tetep aja dia duluan yang bener-bener ngelakuinnya."

Embusan napas cukup kencang terdengar dari Anka.
"Dia minta gue temenin jalan seharian, tatap dia sebagai Rama, sekali aja."

Senyum Brav mengembang, singkat tapi menenangkan. "Terima atau nggak, semua pilihan itu ada di tangan lo, Ka. Jangan pernah ambil keputusan apa pun karena pengaruh orang lain. Mikirin orang lain sih nggak salah, bagus malah. Tapi kalau terlalu, apalagi sampai pengaruhin apa yang mau lo lakuin, itu udah nggak bener."

Jawaban itu membuat Anka menoleh perlahan. "Terus gue harus gimana?"

"Gue bisa kasih lo dua perspektif jawaban. Pertama, lo nggak harus selalu ngebalas apa yang orang lain lakuin ke lo. Kalau orang udah baik, mungkin lo akan ngerasa punya utang budi, tapi kalau itu emang nggak sesuai sama keinginan lo, jangan dilakuin. Dua, walau gue nggak pede karena apa yang udah dia lakuin, bukan berarti lo pergi sama dia buat seharian bakal jadi masalah. Gue kan udah bilang, gue akan nunggu jawaban lo, apa pun itu. Kalau emang pada akhirnya hati lo tergerak sama dia, ya gue akan berusaha terima. Tapi gue percaya sih, lo bisa jaga hati buat gue."

Kedipan dengan wajah usil Brav membuat Anka menyikutnya pelan, lalu keduanya tergelak.

***

Akas berdiri mematung melihat apa yang terjadi beberapa meter di hadapannya. Entah sudah ke berapa kali dia mendapati Tisya yang menghampiri dan berusaha mendekati Brav tapi tidak digubris. Dia juga tahu sudah beberapa hari Tisya memberikan susu kotak dan roti untuk Brav tiap pagi dan cowok itu memakannya bersama Anka. Kalau sudah begitu, kenapa dia masih tidak mau peduli ketika Tisya berdiri di depannya dan mengajaknya bicara.

Sebenarnya Akas bukan orang yang ingin ikut campur, apalagi ini masalah keluarga dan cukup rumit. Namun, dia juga tidak bisa diam saja melihat Tisya terus berusaha dan hanya mendapat pengabaian dari Brav. Tisya memang cewek yang nekat dan bermuka baja, bisa dibilang hampir tidak kenal malu. Pantang mundur menghadapi segala macam bentuk penolakan. Tapi Akas juga tahu, dalam hatinya pasti ada rasa sakit ketika terus berusaha dan tidak mendapat pengakuan. Dia tidak sanggup melihat cewek itu terus disakiti.

Brav sudah berjalan lebih dulu dan meninggalkan Tisya sendiri dan Akas harus menunggu sejenak sampai cewek itu menghilang. Dengan segera, Akas mengejar Brav yang sudah cukup jauh dari sekolah. Ketika jarak keduanya sudah tidak terlalu jauh, dia memelankan langkah, menghela napas dalam-dalam sebelum akhirnya menyejajarkan langkahnya dengan Brav.

"Eh, Kas." Brav yang tidak menyangka dengan kehadiran Akas, menoleh dan memundurkan kepala dengan refleks. "Kenapa?"

Akas masih diam, bingung harus memulai pembicaraan dari mana. Akhirnya ketika menemukan warung kecil, dia memberi isyarat untuk menepi dan keduanya duduk. Akas bergegas membeli minuman dan kembali secepat mungkin, lalu menyodorkan satu kaleng kopi ke Brav yang duduk dengan wajah santai, seolah tidak pernah ada keanehan saat melihat Akas tadi.

"Nggak bareng cewek lo?" Brav memulai pembicaraan, hanya karena tidak mau dikelilingi atmosfer aneh di antara mereka.

"Belum jadi cewek gue," jawab Akas pelan.

"Oh ... akan."

Dua kata pendek dari Brav barusan cukup untuk menyebarkan sesuatu yang aneh di hati Akas. Dia mendadak jadi salah tingkah, tanpa tahu penyebab pastinya. Akas berdeham, untuk menghilangkan kecanggungan yang sepertinya hanya dirasakan sendiri. Sambil terus meneguk kopi di tangannya, dia berpikir hingga akhirnya menemukan titik terang.

"Lo sama Tisya ...."

"Dia udah cerita sama lo?" potong Brav sebelum Akas menyelesaikan ucapannya.

Akas mengangguk sekali. Tangannya mengeratkan pegangan pada kaleng kopi yang sudah hampir tandas isinya. "Gue tahu pasti nggak gampang buat lo, tapi begitu juga buat dia. Dan gue rasa, udah cukup usahanya buat terus-terusan ngedeketin lo dan minta maaf tanpa hasil. Ini bukan salahnya. Dia bahkan belum lahir dan nggak tahu apa-apa. Gue rasa ... nggak seharusnya dia nebus kesalahan orangtuanya."

Brav tahu Akas pasti akan membahas hal ini. Jujur saja, dia juga sudah bisa mengakui kalau apa yang barusan Akas bicarakan itu sepenuhnya benar. Tisya tidak tahu apa-apa dan sebenarnya tidak adil melimpahkan seluruh amarah pada cewek itu. Namun memang begitu refleks manusia. Mencari orang yang lebih lemah untuk melampiaskan amarahnya, ketika tidak punya cukup kekuatan untuk menggapai orang yang benar-benar bersalah. Dan saat ini Brav ada di posisi itu.

Mungkin kalau suatu hari Nenek bertemu dengan ayahmu, Nenek justru akan menyayanginya lebih lagi, seperti Nenek menyayangimu selama ini. Karena hanya lewat kalian, Nenek bisa merasakan kehadiran mamamu sekarang. Kamu itu anak yang punya jiwa bebas, Brav. Jangan sampai dibebani dendam. Nenek tidak mau melihat cucu Nenek murung lagi.

Ucapan neneknya beberapa hari lalu terngiang kembali di ingatan Brav. Saat itu, neneknya menghampiri karena merasakan perubahan sikap Brav, dan ketika dia bertanya apa yang akan neneknya lakukan bila bertemu lagi dengan suami ibunya, begitulah jawaban yang diberikan. Jauh dari apa yang bisa dirinya bayangkan. Dia pikir neneknya akan marah dan menghakimi orang itu, tapi neneknya memilih untuk mengingat ibunya dengan cara itu.

Brav menghela napas dalam. Mungkin ini juga saat baginya, untuk mengenang ibunya dengan cara yang berbeda.

***

Wattpad kalian eror ga? Punyaku iya 😭😭

Aku suka banget sama bijaknya Brav 😍😍 malah ngasih perspektif lain ke Anka, kalau malah ketikung gimana coba 🤣

Kalian setuju ga sama neneknya Brav? Karena udah banyak pengalaman kayaknya bisa jadi dewasa gitu. Aku ga mungkin bisa sih, pasti tetep kayak Brav yang bencinya sampe ke tulang 😭

Siyuuuu
junabei

Dear Past, Let Me GoTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang