Tidak ada yang sepele di dunia, karena seringnya satu langkah kecil yang akan jadi penentu hasil besar.
Anka mau berusaha bersamanya. Cewek itu bahkan yang mengajaknya melakukan itu duluan. Brav tidak pernah menyangka hal baik seperti itu akhirnya akan datang pada dirinya. Karena kata-kata itu pula, dia akan berusaha sebaik mungkin untuk melakukan apa yang diucapkan Anka. Dia akan berusaha melepaskan semua yang membebaninya selama ini. Memaafkan semua orang, termasuk dirinya sendiri.
Namun hidup memang tidak pernah semudah itu untuk dijalani. Ketika kita mengikrarkan ingin melakukan sesuatu, hal yang berlawanan akan datang sebagai ujian. Mereka akan mengintip di depan pintu, menggedor-gedor hati yang masih rapuh untuk mengeluarkan segala emosi, hingga akhirnya mungkin semua usaha kita selama ini akan sia-sia dan kembali ke awal.
Di hadapannya, Tisya baru saja melewati gerbang sekolah dengan langkah ringan sambil menggamit tas. Dari kejauhan, wajahnya sudah terlihat kembali cerah, tidak seperti beberapa hari ini saat terus mengejar dan tidak diacuhkan Brav. Jujur saja, hal itu hatinya seolah tercubit. Ada bagian dalam dirinya yang tidak suka melihat cewek itu seolah sudah bisa baik-baik saja dan melupakan semua masalahnya, sementara dia masih di sana. Di posisi yang terperosok jauh tanpa merangkak naik sedikit pun.
Baru juga hendak melangkah, Brav sudah melihat sesuatu yang membuatnya berhenti, bahkan melangkah mundur. Beberapa meter di belakang Tisya, berdiri seorang lelaki cukup berumur. Tidak ada yang dilakukannya kecuali memperhatikan cewek itu, seolah tatapannya yang menggantikan posisinya untuk mengantar anaknya ke dalam sekolah. Lagi-lagi, sesuatu menyeruak di hati Brav tanpa bisa ditahan.
Setelah memastikan orang itu sudah pergi, barulah Brav benar-benar melanjutkan langkahnya menuju sekolah. Perasaannya yang baru berusaha ditata, berat kembali seketika. Dia hanya berharap bisa menemukan Anka setibanya di dalam sekolah. Setidaknya melihat wajah cewek itu akan membuat perasaannya membaik.
Setibanya di kelas, Brav menemukan satu kotak susu dan roti cokelat dengan selembar post-it di atasnya. Kak Brav, semangat ya hari ini. Diakhiri lambang titik dua dan kurung, tulisan itu terpampang jelas di hadapannya. Dia tidak perlu repot-repot berpikir untuk mengetahui siapa pengirimnya, nama Tisya tertera di bagian bawah, walau sudah bisa ditebak juga.
Selama beberapa saat, Brav bergeming. Bingung harus memilih sikap seperti apa. Membuang roti dan susu itu jelas bukan pilihan yang baik, terlalu sayang. Namun memakannya juga bukan hal yang mudah. Memakan sama dengan memaafkan, bukan begitu? Dan untuk Brav, hal itu masih belum bisa dilakukannya sekarang. Dia masih butuh waktu, entah berapa lama.
Pada akhirnya yang Brav lakukan hanya membawa susu dan roti itu di tangannya lalu melangkah keluar kelas. Dia memasuki kelas Anka tanpa tahu harus dan akan melakukan apa. Yang ada di pikirannya hanya mungkin cewek itu bisa memberi saran, atau paling tidak menenangkan perasaannya yang agak berantakan sekarang.
Anka tersenyum begitu melihat Brav di hadapannya. Namun ketika melihat raut wajah cowok itu yang tidak seperti biasanya, dia melirik ke arah tangan Brav yang terkulai di samping tubuh. Keningnya mengerut. "Kenapa?" tanyanya.
Ada jeda yang diambil Brav sebelum meletakkan susu dan roti itu di meja Anka. "Anak itu ngasih ini. Gue nggak tahu harus diapain. Dibuang sayang, tapi nggak bisa dimakan. Menurut lo gue harus gimana?"
Senyum Anka mengembang semakin lebar. Mungkin Brav tidak menyadarinya, tapi ini perubahan yang cukup bagus. Tidak membuangnya mungkin akan dilakukan semua orang, tapi tidak mengembalikan itu ke Tisya apalagi ditambah luapan emosi, sudah merupakan pergerakan yang baik. Apalagi sampai bertanya pada Anka, berarti ada bagian dalam diri Brav yang ingin diyakinkan, kalau menerima pemberian itu bukan hal yang salah dan mungkin untuk dilakukan.
KAMU SEDANG MEMBACA
Dear Past, Let Me Go
Teen FictionSekuel DRAMA. Anka hidup dalam bayangan masa lalu yang terus membuatnya terlarut dalam penyesalan. Baginya, bayangan bisa mencekik begitu kuat, sampai rasanya sulit melepaskan diri, bahkan sekadar untuk bernapas. Lalu hadir seseorang yang baru di hi...