40. Otak vs Hati

3K 264 65
                                    

Hati atau otak yang kau biarkan bekerja, semuanya ada bagian dan konsekuensinya masing-masing. Terkadang, kau bahkan harus menggabungkan keduanya untuk mendapatkan keputusan terbaik.

Anka masih menatap Brav dan bergeming di tempatnya. Rasa bersalah kembali menyelubungi dirinya. Kalau dipikir-pikir, belakangan ini dia sering sekali dihampiri perasaan itu. Dan rasanya menyebalkan. Kenapa dua orang ini terus membuatnya merasa begitu?

"Ka?" panggil Brav sekali lagi. Melihat Anka tak kunjung merespons, dia melongok ke belakang cewek itu dan akhirnya bisa melihat Rama. Mendadak tenggorokannya terasa kering, tapi dia tetap memaksakan diri untuk bersuara.  "Udah ada janji sama dia?"

Rama bisa merasakan kecanggungan di tengah-tengah mereka bertiga. Raut wajah Anka berubah perlahan. Melihat itu, Rama memilih pergi lebih dulu. Tapi belum sempat melangkah, suara Anka terdengar mengiakan, membuatnya terpaku di tempatnya berdiri.

"Dia udah ngomong dari pas ke dufan bareng. Maaf ya, Brav. Kayaknya lo harus makan sendiri," tambah Anka setelah merasa yakin. Baginya prinsip adalah prinsip. Satu hal yang harus diubahnya setelah memilih menjalani diri yang baru adalah ragu ketika mengambil keputusan. Kalau memang sudah berjanji untuk menemani Rama, ya harus ditepati. Walau tak bisa terelakkan, hatinya masih merasa tidak enak pada Brav.

"Oke."

Jawaban singkat Brav membuat Anka tercekat. Rasanya ada batu besar yang tersangkut di tenggorokannya. Terlebih lagi ketika cowok itu mengangguk singkat sebelum berlalu. Tidak biasanya. Dan yang tidak biasa itu yang membuatnya terguncang.

"Jadi ... gimana?" tanya Rama ragu-ragu saat melihat Anka tidak mengalihkan pandangannya dari punggung Brav yang terus mengecil.

Keheningan masih mengambil alih percakapan mereka. Anka malah tidak menunjukkan perubahan sama sekali. Melihatnya Rama jadi ingin menyerah. Harusnya sejak awal dia tidak meminta waktu cewek itu lagi. Harusnya kalau memang tidak enak pada Brav, dia jangan bilang sudah janji lebih dulu. Semua jadi repot dan dirinya berada di posisi serbasalah. Hatinya tentu saja ingin menghabiskan waktu bersama Anka. Tapi otaknya menyuruh untuk jangan egois. Apalagi kelihatannya Brav anak baik-baik yang bisa menjaga Anka dan tidak akan menyakitinya.

"Ayo," ujar Anka tiba-tiba.

Dan tanpa aba-aba, cewek itu sudah berjalan lebih dulu. Dengan tergesa, Rama mengikuti di belakang dan menambah kecepatan untuk menyamai langkah Anka. Heran, kaki cewek itu tidak terlalu panjang tapi jalannya cepat juga hingga baru sebentar pun jarak mereka sudah lumayan besar.

"Nggak apa-apa tuh tadi si Brav pergi gitu?" tanya Rama ketika baru tiba di samping Anka. Mendengar jawabannya mungkin akan membuatnya sakit, tapi bisa apa lagi, dia penasaran. Dan demi rasa penasaran itu, manusia biasa mengorbankan diri sendiri. Masuk pada kemungkinan-kemungkinan yang akan membawanya pada rasa sakit demi mendapat jawaban yang ingin diketahuinya.

"Apa-apa juga nggak bisa apa-apa. Gue kan udah keburu ngeiyain lo."

Tuh kan ... memang lebih baik bila Rama tidak mengikuti rasa ingin tahunya. "Nggak apa-apa kok kalau lo mau temenin dia."

Setelah mengucapkannya, tidak sedetik pun Rama melepaskan pandangannya dari Anka. Jujur saja, dia cukup menyesal kata-kata itu terucap. Otak versus hati memang tidak bisa menang. Seingin apa pun untuk jadi tidak egois dan berharap, penyesalan selalu datang saat tidak berhasil mempertahankan.

***

Batu kerikil di samping aspal berputar-putar hingga akhirnya mendarat di suatu titik. Namun tidak begitu lama, ia harus kembali berputar karena seseorang menendangnya. Brav. Terdengar helaan napas di tiap langkah yang dia ambil. Otaknya masih penuh dan menolak untuk menyingkirkan kejadian tadi.

Dear Past, Let Me GoTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang