Segala sesuatu bisa berawal dari hal kecil.
Termasuk hal yang mengusik hati.
Meski semua yang terjadi hari ini buruk, ingatlah senyummu adalah bahagia bagi seseorang.
Kertas di atas kotak makan yang baru ditemukannya di bawah kolong meja membuat kening Anka berkerut. Dia baru saja memasuki kelas dengan tergesa, setelah berhasil mengecoh Brav – yang tetap bersikeras mengikutinya dari bus sampai kelas seperti kemarin—dengan berbelok ke toilet dan menunggu sampai cowok itu pergi duluan.
Danny? Nama itu melintas sebagai tersangka paling mungkin di otak Anka. Melihat bagaimana dia masih sangat berusaha kemarin, bukan hal tidak mungkin baginya untuk melakukan tindakan konyol seperti ini.
Anka meraih kotak makan itu dan memandanginya selama beberapa detik. Satu sisi dari dirinya tidak mau membuka atau menghiraukan kotak makan itu, tapi prinsip yang ditanamkan pada dirinya sejak kecil terus mengusik. Jangan menyia-nyiakan makanan. Kata-kata itu selalu terngiang di telinganya setiap berhadapan dengan makanan. Makanya, sekenyang apa pun, dia akan tetap menghabiskan makanan yang ada di depannya.
Perlahan tangannya membuka penutup kotak makan itu. Nasi goreng dengan telur mata sapi isinya. Hanya makanan sederhana yang menjadi menu mainstream untuk sarapan, tapi berhasil membuat hal lain mengusik pikiran Anka. Orang yang memberikan ini sudah meluangkan waktu untuk memasaknya, atau minimal, menyusunnya. Bahkan Anka sendiri merasa tidak punya cukup waktu untuk mengurusi urusan sarapan, baik makan di rumah atau dijadikan bekal.
Dan pikiran itu membuat Anka tambah benci dengan dirinya sendiri. Kenapa sisi sensitifnya begitu mudah tersentuh. Kenapa dia harus memikirkan sisi yang kebanyakan tidak dipikirkan orang lain. Kenapa dia harus mengandai-andai, mencoba masuk ke tiap situasi, sampai rasanya bisa paham betul dengan apa pun yang orang lain rasakan, sampai akhirnya jadi terlalu mudah iba.
Bukan hal yang buruk, tentu. Namun, kalau berlebihan, jadi mengganggu. Bagaimana pun, segala sesuatu yang sifatnya berlebihan tidak pernah bagus. Dan Anka ingin berhenti dari hal seperti itu, minimal mengurangi intensitasnya, tapi sama sekali tidak mudah. Rasanya seperti duri yang sudah tertanam betul di dirinya dan kalau dicabut, akan menimbulkan luka dan berdarah. Atau parahnya, sudah menyatu dengan dirinya, yang akan membuat dirinya tidak utuh, kalau itu hilang.
Anka menggeleng sekilas. Pikirannya sudah berkelana terlalu jauh. Saat hendak memasukkan kembali kotak makan itu ke kolong meja, Anka merasa ekor matanya menangkap sosok yang dia kenal di ujung pintu.
Brav. Cowok itu berdiri sambil bersedekap dan tersenyum. Tepat ketika Anka menoleh, senyumnya merekah semakin lebar. Sambil memainkan alis dan tetap tersenyum, dia melangkah pergi dari sana, menuju kelasnya di sebelah.
Pikiran Anka kembali terusik. Apa mungkin cowok itu yang memberi bekal ini? Bisa saja, ketika Anka masih di toilet tadi, dia ke sini dan menaruh kotak makan ini. Anka menimbang-nimbang. Melihat sifat dua cowok itu, keduanya punya kemungkinan sama besar untuk jadi tersangka, tapi siapa yang benar-benar melakukannya ... entahlah.
Saat bel masuk berbunyi, Anka juga berusaha membersihkan otaknya dari segala pikiran tadi.
***
"Jadi lo nggak tahu siapa yang ngasih kotak makan ini?"
Anka menggeleng menanggapi pertanyaan Bora yang sudah entah ke berapa kali dia dengar. Kadang, bercerita pada sahabatnya yang satu ini memang layaknya pengujian kesabaran. Kalau terlalu excited, Bora bisa lupa, benar-benar lupa dengan kenyataan sudah berapa kali dia mengucapkan hal serupa.
Awalnya Anka tidak berniat cerita pada Bora, toh ini tidak penting, pikirnya. Tapi, saat Bora mengajaknya ke kantin tadi, mau tidak mau dia harus bilang kalau sudah ada makanan, dengan menunjukkan kotak makan misterius itu. Dan pada akhirnya, dia tetap berakhir di kantin, seperti sekarang, karena Bora malah jadi 'sok detektif' dengan mencari tahu siapa pemberi kotak makan itu, padahal hal itu sepele menurut Anka.
KAMU SEDANG MEMBACA
Dear Past, Let Me Go
Teen FictionSekuel DRAMA. Anka hidup dalam bayangan masa lalu yang terus membuatnya terlarut dalam penyesalan. Baginya, bayangan bisa mencekik begitu kuat, sampai rasanya sulit melepaskan diri, bahkan sekadar untuk bernapas. Lalu hadir seseorang yang baru di hi...