Masalah ada untuk mendewasakan. Kejadian yang sama terulang untuk membuat kita belajar.
Tanpa sadar, Tisya terus berjalan dengan limbung sampai tiba di koridor ujung depan sekolah. Dia menatap sekeliling ketika akhirnya menyadari keadaannya saat ini. Dia tidak punya tujuan. Biasanya dia pasti akan langsung pulang. Namun sekarang, memikirkan rumah tidak lagi sama rasanya. Ada rasa yang kelewat berat ketika memikirkan harus menghadapi orang tuanya nanti. Tapi kalau mau ke tempat lain pun, dia tidak tahu harus ke mana.
Semua kenyataan yang Tisya terima bertubi-tubi sejak kemarin seolah meledek dan terus memenuhi pikirannya. Saat ini rasanya kepalanya sudah hampir pecah. Sambil duduk di bangku yang membelakangi tanaman-tanaman, yang sengaja ditanam di sepanjang koridor depan, Tisya kembali memikirkan semua informasi yang didengarnya. Namun, tidak ada satu pun yang bisa diterima, baik oleh otak, apalagi oleh hatinya.
Tangannya yang awalnya membekap mulut perlahan melebar dan akhirnya menutup seluruh wajah. Setetes air mata mulai mengalir di pipinya, dan seketika, air mata itu tidak bisa lagi dihentikan. Pundaknya bergetar, dadanya naik turun, suara terisaknya mulai semakin kencang terdengar. Tepat saat itu, bayangan di depan membuat semua cahaya yang tadi menimpanya tergeser dan sekelilingnya jadi gelap.
Tisya mengangkat wajah perlahan, dan di hadapannya saat ini sudah ada Akas yang berdiri tegap. Cowok itu tidak berkata apa-apa, hanya menatap Tisya dalam-dalam. Dan tanpa sadar, air mata Tisya meluncur begitu saja, semakin lama semakin deras. Entah kenapa melihat Akas malah membuat dia seakan bisa menumpahkan semua kesedihan yang dirasakannya sekarang.
Akas akan mendekatinya, berjongkok di hadapannya dan menghapus air matanya. Tisya berpikir senior pujaannya itu akan melakukan semua yang dibayangkannya. Akas memang maju, tapi bukan untuk menghapus air matanya. Dari belakang, cowok itu mengeluarkan helm dan langsung memasangkan itu pada Tisya dan menurunkan kacanya.
"Kalau dilihat orang-orang, dikira gue yang bikin lo nangis nanti," ujar Akas setengah berbisik, masih sambil memasangkan kait di helm yang dipakai Tisya.
Harusnya Tisya tertawa, atau setidaknya tersenyum karena tingkah senior pujaannya itu, tapi nyatanya, air matanya malah terus mengalir. Melihat itu, Akas jadi bingung sendiri. Memang dia tidak melakukan itu untuk menghibur, tapi dia kira cewek seperti Tisya akan bahagia bila diperlakukan begitu.
"Ayo, kita pergi aja dari sini. Cari angin segar biar itu air mata nggak ngalir terus." Akhirnya Akas mengambil langkah lain. Dia tidak bisa membiarkan Tisya terus-terusan menangis di sini.
Belum sempat menjawab, tangan Tisya sudah digandeng oleh Akas menuju parkiran. Ketika Tisya masih diam saja di depan motor, Akas kembali menarik tangan cewek itu dan mengarahkannya untuk naik. Setelah semuanya beres, Akas mulai melajukan motornya dengan kecepatan standar.
"Kalau di sini, lo bisa nangis sepuasnya. Nggak akan ada yang lihat, dan lo nggak akan malu karena itu. Nggak akan pusing juga mesti jawab pertanyaan semua orang yang akan nanya lo kenapa nangis."
Angin kencang di jalanan hampir menerbangkan suara Akas juga, tapi Tisya menangkap semua itu dengan sangat jelas. Tiap patah kata dalam tiga kalimat itu berdesir dalam hatinya, menyentuh bagian terdalam hingga berhasil menggantikan kesedihan Tisya dengan rasa haru. Semua ucapan itu terdengar begitu manis dan lembut, walau Akas mengucapkannya dengan lantang.
Mereka berkeliling tanpa tujuan yang jelas. Tisya juga tidak bertanya sama sekali ke mana Akas akan membawanya pergi. Dia hanya mengikuti seniornya itu dan duduk tenang di balik punggungnya yang lebar. Di sana, Tisya merasa aman dan damai, walau mereka tidak melakukan apa pun dan Akas juga tidak berbicara lagi sejak keluar dari sekolah tadi.
Setelah hampir dua jam berkeliling entah ke mana, akhirnya Akas menghentikan motornya di depan rumah Tisya. Awalnya cewek itu masih belum mau turun, lagi pula dia tidak tahu kalau Akas pada akhirnya mengantarnya pulang. Namun, ketika Akas menoleh dan mengedikkan kepala untuk menyuruh turun, Tisya menyerah.
KAMU SEDANG MEMBACA
Dear Past, Let Me Go
Teen FictionSekuel DRAMA. Anka hidup dalam bayangan masa lalu yang terus membuatnya terlarut dalam penyesalan. Baginya, bayangan bisa mencekik begitu kuat, sampai rasanya sulit melepaskan diri, bahkan sekadar untuk bernapas. Lalu hadir seseorang yang baru di hi...