5. Kenangan

5.7K 579 53
                                    

Walau tidak semuanya indah, masih lebih baik hidup dengan kenangan, daripada kehampaan.

Ruangan itu terasa begitu dingin. Hanya ada dinding putih di sekeliling. Sunyi. Mencekam. Anka meringkuk sambil memeluk kedua kakinya di lantai. Tak dihiraukannya rasa dingin yang semakin lama semakin menusuk. Tidak ada satu hal pun yang terasa nyaman di ruangan ini, tapi dia membiarkannya. Tidak berusaha sedikit pun untuk bergerak, apalagi keluar dari sini.

Terkadang, dia lebih percaya kalau membiarkan diri terbiasa, dengan keadaan terburuk sekalipun, akan lebih mudah daripada berusaha mencari suasana baru. Adaptasi. Dia benci hal itu. Buatnya, sesuatu yang sudah teratur sejak awal lebih baik tidak diganggu gugat. Tidak ditambah, apalagi diambil, karena mungkin akan menimbulkan luka.

Semua masih dalam keadaan yang sama hingga suara pintu terbuka terdengar. Anka menoleh dan menemukan tangan terulur dari balik pintu itu. Masih dibiarkannya tangan itu mengatung tanpa sambutan. Siapa yang akan dengan mudahnya meraih tangan yang wajah pemiliknya tidak terlihat? Namun, saat mendengar jeritan lemah dari orang itu, pikirannya mulai terusik.

Ada sesuatu dalam jeritan yang baru saja didengarnya. Keputusasaan, luka, kesedihan, amarah, kekecewaan, bahkan dendam. Hal-hal itulah yang akhirnya membuat Anka bangkit. Dengan penuh kehati-hatian, dia melangkah. Diperhatikannya tangan itu dari jarak lebih dekat. Tidak ada yang mencurigakan. Awalnya dia berpikir akan menemukan bekas luka di tangan itu atau semacamnya, tapi tidak ada. Mungkin semua hal yang dirasakannya dalam jeritan tadi hanya ilusi, pikirnya. Namun, dia tetap tidak menghentikan langkah.

Tangan yang tadi terulur tiba-tiba menghilang ketika Anka baru saja ingin meraihnya, membuatnya terkesiap. Anka mengerjap-ngerjap, tidak mengerti dengan yang baru saja terjadi. Namun, rasa penasaran memimpinnya untuk melangkah keluar, mengikuti arah tangan itu menghilang.

Di luar sini ramai. Banyak orang berlalu-lalang dengan beragam obrolan. Anka tidak bisa lagi menemukan tangan yang terulur tadi. Tidak ada tanda apa pun. Dia hanya akan membuang waktu bila berusaha mencari. Maka, dia berniat berbalik, menuju ruangan yang ditempatinya tadi. Namun, tepat ketika kakinya baru melangkah, suara tubuh berdebum di lantai membuat gerakannya terhenti.

Tubuh Anka kaku seketika. Tidak. Dia tidak bisa menoleh. Dia terlalu takut untuk melihat orang yang jatuh di sebelahnya tadi. Dia terlalu takut melihat darah yang mungkin saja akan mengucur deras dari kepala atau bagian tubuh lain orang itu. Hingga akhirnya keramaian menelan dirinya.

Suara terkesiap terdengar di mana-mana. Semua orang yang tadinya ada di sekitar, langsung berkerumun, berdesak-desakan. Berlomba-lomba untuk saling berbisik. Mengucapkan rapalan kata-kata iba yang tidak membantu sama sekali. Lalu detik berikutnya, tatapan mereka semua tertuju pada Anka. Begitu menusuk. Begitu menuduh.

Kesesakan mulai memenuhi Anka saat menemukan tatapan-tatapan itu dari sekitarnya. Detak jantungnya melonjak. Bahunya naik turun, berusaha menghirup oksigen sebanyak-banyaknya dari sekitar, tapi gagal. Napasnya masih saja putus-putus. Kepalanya mendadak sakit. Lalu sekelilingnya menggelap.

Anka terduduk di ranjangnya dengan napas terengah-engah. Keringat dingin mengucur menuruni keningnya yang biasa kering. Dia memejam erat-erat, berusaha mengusir segala rasa yang timbul akibat mimpi barusan. Lagi-lagi mimpi itu, yang sudah menghantuinya selama bertahun-tahun, dan tidak berniat berhenti.

"Kamu yakin, mau tinggal di sini sendirian?"

Pertanyaan ibu Anka saat keluarganya memutuskan untuk pindah dan dia bersikeras ingin tetap tinggal, tiba-tiba kembali terngiang. Mungkin ini maksud pertanyaan ibunya saat itu. Bukan tentang mengurus semuanya sendirian, atau kesepian karena tidak ada siapa pun di rumah ini, tapi karena mimpi yang terus menghantuinya.

Dear Past, Let Me GoTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang