24. Kenapa Harus Dia?

2.6K 339 101
                                    

Kadang kita menolak untuk percaya, tapi kebenaran tetaplah kenyataan, yang tak akan berubah bagaimanapun kita menginginkannya.

Kelasnya tetap berisik, guru-guru yang punya jadwal mengajar tetap menyampaikan materi, waktu terus berjalan dan dirinya tetap berada di kelas. Namun, semuanya tidak benar-benar sama bagi Anka. Memang, tubuhnya ada di kelas, tapi pikirannya melayang entah ke mana. Sejak melihat kejadian tadi pagi, dengan fakta mengejutkan bahwa mungkin saja Rama yang memberi kotak makan untuknya selama ini, Anka sama sekali tidak bisa tenang.

Anka berusaha mendengarkan tiap penjelasan dari guru-guru yang sudah silih berganti sejak tadi, tapi otaknya menolak memberi waktu luang agar bisa fokus ke sana. Tiap kali dia berusaha menghalau kejadian tadi pagi, semakin pula setiap detailnya berputar dengan tempo lambat. Hal ini benar-benar akan membuatnya gila.

Meski semua yang terjadi hari ini buruk, ingatlah senyummu adalah bahagia bagi seseorang.

Yang kayak gini mah nggak level suka sama gue. Cupu gitu.

Kebaikan hatimu memancar terang, sampai ke sudut hati yang paling gelap dan tak terjamah.

Sembarangan lo! Nggak mau gue punya fans kayak gitu!

Jangan biarkan dunia mengambil harapanmu, karena bagi seseorang, kamu adalah harapannya.

Semua omongan itu berputar-putar di otak Anka. Dia masih tidak habis pikir bagaimana orang yang sama bisa mengeluarkan kata-kata yang saling bertolak belakang seperti itu. Mana mungkin Rama yang dulu mengatainya dengan ekspresi merendahkan, menjadi orang yang belakangan ini memuji dan memberinya semangat lewat tulisan-tulisan di kotak makan. Mana bisa hidup tiba-tiba semenyebalkan ini?

Anka terus menggeleng-geleng, berusaha menolak semua kenyataan yang berulang kali menampar dirinya. Dia butuh keluar dari pikiran yang mengungkungnya ini. Dia butuh sesuatu atau seseorang yang menariknya menjauh, mengatakan kalau itu semua tidak mungkin, seperti yang ada di pikirannya sejak tadi.

"Sumpah, itu nggak mungkin banget, Ka."

Dan di sinilah adanya Bora. Anka tersenyum sekilas, walau pahit, saat mendengar jawaban Bora barusan. Jelas sahabatnya ini tidak bisa mendengar isi pikirannya, juga tidak bisa membaca keinginannya, tapi omongannya tepat sasaran. Untuk saat ini, Anka tidak lagi peduli kalau omongan yang diterimanya tidak sesuai kebenaran. Siapa yang bisa menerima kebenaran begitu saja, kalau itu sama sekali bertolak belakang dengan yang diinginkan? Terkadang orang memang lebih butuh pelarian daripada kenyataan.

"Iya, kan, Yong? Nggak mungkin, kan?" Anka kembali menekankan itu, dan merasa sedikit lega ketika Bora mengangguk.

"Mustahil, Ka, orang nyebelin kayak dia yang kasih lo kotak makan misterius itu. Apalagi ada kata-kata motivasinya kan lo bilang? Nggak mungkin lah Rama bisa ngomong kayak gitu. Hidup bener aja nggak bisa dia."

Untuk sejenak, Anka bisa menarik napas lega karena mendengar penjelasan Bora. Benar, bagaimana mungkin Rama bisa menulis semua kata-kata itu, sementara omongannya selama ini tidak pernah benar. Hal itu sama saja dengan percaya kalau dunia akan damai sementara sedang ada perang di depan mata. Setidaknya, sampai saat ini, Anka hanya mau meyakini itu.

"Tapi ... ngapain juga dia naro kotak makan di kolong lo hari ini, Ka? Isi tulisannya apa?"

Pertanyaan Bora menarik Anka kembali pada kenyataan yang menyebalkan. Usahanya melarikan diri jadi gagal kali ini. Dia menarik napas dalam-dalam, hanya untuk memikirkan jawaban untuk pertanyaan barusan. Anka tidak bisa memungkiri kalau pertanyaan itu tepat sasaran, dan itu pula yang terus berputar di otaknya. Dia hanya berusaha menyangkal semuanya.

Dear Past, Let Me GoTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang