Katanya, jatuh tak butuh alasan. Tapi seringnya, alasan yang membuat makin terperosok.
"Tyas cerita ke Kakak?"
Itu pertanyaan pertama yang terlontar dari mulut Tisya begitu dirinya dan Akas duduk di deretan meja tinggi yang menghadap jendela di minimarket dekat rumahnya. Sambil memegang es krim yang belum disentuhnya, Tisya terus menatap Akas dan menunggu cowok itu menjawab. Namun nyatanya, Akas malah dengan tenang menyesap minuman jeruk dan beraksi seolah bintang iklan yang merasa segar karena minuman itu.
"Kak!" panggil Tisya lagi, kali ini dengan nada agak meninggi. Keningnya berkerut dalam, bibirnya mengerucut.
Akas menahan ujung bibirnya supaya tidak terangkat terlalu lebar. Setidaknya, dia senang karena Tisya sepertinya sudah kembali ke dirinya yang biasa. "Gue sadap HP-nya." Tisya membelalak. Kali ini Akas terkekeh. "Nggak lah, ngapain juga nyadap HP adek sendiri. Dia juga nggak bakat bohong sama gue kecuali masalah Ardy waktu itu. Dia teleponan di sebelah gue."
Tisya mengembuskan napas kencang mendengarnya. Sambil memberengut dia berkata, "Kok Tyas gitu, sih. Kayak ngekhianatin aku, deh. Katanya bisa cerita ke dia masalah yang nggak bisa ceritain ke Kak Akas, eh dia malah teleponan di sebelah Kakak."
"Itu karena dia tahu alasan lo konyol." Akas kembali meneguk minuman dari botolnya. "Awalnya dia teleponan pake telinga kiri, biar rada jauh dari gue. Tapi habis dengar penjelasan lo yang nggak masuk akal dan aneh, dia pindahin ke telinga kanan biar semuanya bisa gue dengar dengan jelas. Emang, pikiran lo aneh."
Dengusan kencang terdengar dari Tisya. Sambil melahap es krimnya yang sudah hampir hilang setengah, dia menatap lurus ke depan. Untuk pertama kalinya dia tidak terus menatap Akas walau seniornya itu berada persis di sampingnya. Otaknya kembali melanglang buana, menimbang apa memang dia seaneh itu?
Tiba-tiba telunjuk Akas menunjuk-nunjuk pelan jarak antara kedua alis Tisya yang berkerut dalam. Dia tidak suka melihat wajah cewek itu mengerut. "Mikir gitu tuh nggak cocok buat lo."
Tisya langsung berpaling ke Akas, menyipit dan menatap seniornya itu tajam. "Kesannya otakku nggak diciptain buat mikir."
Akas tergelak. Baru kali ini dia benar-benar tertawa lebar di depan Tisya. Biasanya dia menyembunyikannya, bahkan senyumnya saja tidak diperlihatkan, padahal cewek itu selalu berhasil membuatnya merasa senang. "Buat mikir yang bener mah nggak apa-apa. Tapi jangan mikir yang nggak guna gitu, apalagi kalau kesimpulannya mesti ngejauhin gue."
Tisya tidak berusaha sama sekali menahan ujung-ujung bibirnya. Dia bahkan mengangkatnya selebar mungkin dengan senang hati. Tidak apa kalau beberapa hari ini terasa menyiksa karena harus menghindari Akas, kalau sekarang seniornya itu jadi bisa bicara supermanis, walau nadanya terdengar tidak peduli dan seolah sedang menceramahi.
"Tapi, Kak, mamaku kayak gitu. Mungkin aja kan, aku juga kayak dia nantinya. Nggak ada yang bisa jamin aku nggak bakalan jadi jahat." Bahu Tisya kembali merosot. Senyum dan sinar di matanya perlahan menghilang lagi.
"Semua orang itu punya sisi jahat. Gue juga. Kadang, sisi jahat juga diperluin kok, biar kita nggak gampang dimanfaatin orang. Tapi jangan sering-sering dibiarin. Yang bisa kita lakuin cuma berusaha nahan diri sebaik mungkin supaya sisi itu nggak keluar lebih banyak daripada sisi baik. Dan gue percaya, lo bisa nahan diri dengan baik." Akas tersenyum sekilas, lalu kembali menghadap depan. Jujur saja, dia tidak bisa menatap Tisya terlalu lama. Debaran jantungnya terlalu menyiksa. Bisa kacau kalau dia tepergok salah tingkah oleh cewek itu.
Walau itu masih mengganggu pikirannya, Tisya memilih mendengarkan omongan Akas. Kalau seniornya itu percaya dia bisa menahan diri dengan baik, maka dia benar-benar akan bisa melakukannya. Dia pasti bisa jadi orang yang punya kadar secukup dan seperlunya. Dalam hati dia berjanji, tidak akan pernah menjadi seperti ibunya. Tidak untuk bagian membuat orang lain bersedih, apalagi sampai bunuh diri.
KAMU SEDANG MEMBACA
Dear Past, Let Me Go
Teen FictionSekuel DRAMA. Anka hidup dalam bayangan masa lalu yang terus membuatnya terlarut dalam penyesalan. Baginya, bayangan bisa mencekik begitu kuat, sampai rasanya sulit melepaskan diri, bahkan sekadar untuk bernapas. Lalu hadir seseorang yang baru di hi...