Saat kebenaran tidak sesuai harapan, benar-benar siapkah hati untuk menerimanya?
Anka masih mencoba meraba-raba napasnya. Dia belum pernah menceritakan itu pada siapa pun, kecuali Bora yang memang sudah tahu dan menemaninya melalui masa itu dulu. Baginya, membuka kenyataan kalau kakak kembarnya sudah meninggal cukup lama, sedangkan dia masih bertahan hidup sama sekali tidak mudah. Ada bagian yang terus hilang, seolah direbut paksa tiap dia harus memikirkan kenyataan itu.
Namun, tatapan Brav mengunci pandangannya. Tatapan ikut berduka yang terlihat sangat tulus membuat Anka tidak bisa memalingkan wajah. Ada sesuatu yang sama di mata Brav saat mereka bertatapan, dan Anka tahu, itu yang harus dia cari tahu.
"Lo ... juga tahu rasanya kehilangan?" Akhirnya Anka menanyakan kesimpulan yang diam-diam sudah dia tarik selama ini.
Brav menelan ludah dengan susah payah. Dia tahu, hari ini akan datang. Dia tahu, dia harus menceritakan semuanya pada Anka kalau memang mau lebih dekat dengan cewek itu. Bukankah itu juga yang sudah direncanakannya dari kemarin-kemarin? Tapi nyatanya, menghadapi kenyataan memang tidak pernah selancar apa yang dibayangkan. Dia masih saja merasa butuh waktu untuk mengumpulkan napas dan keberanian.
"Nggak pa-pa, gue akan nunggu lo cerita. Itu yang selalu lo bilang ke gue, kan?" Senyum hangat di wajah Anka memberikan keyakinan yang lebih kuat di hati Brav.
"Gue nggak suka bikin lo nunggu lama," jawab Brav sambil kembali menghela napas dan membalas senyum Anka. Sesaat, mereka hanya berdiam diri, tapi keduanya merasa tenang. Sampai Brav merasa waktunya cukup. Dia sudah yakin saat ini. "Mama gue. Gue kehilangan dia waktu kelas enam SD."
Anka menarik napas dalam-dalam mendengarnya. Dia kehilangan saudara kembar, dan Brav kehilangan ibunya. Bagaimana mereka bisa begitu berbeda menanggapi kehilangan yang mereka alami? Cowok itu tetap terlihat ceria, sedangkan dirinya terus terpuruk seolah hidupnya adalah yang terburuk di antara semua orang.
"Bunuh diri." Dua kata itu membuat Anka membelalak. Apa yang didengarnya barusan tidak salah? Anka sampai harus menggeleng-geleng, siapa tahu pendengarannya tertutup rambut, tapi anggukan Brav membuat kemungkinan itu menghilang begitu saja. "Gara-gara suaminya pergi ninggalin kita. Gue udah terus bilang ke dia kalau gue akan ikutin dia kayak bayangan, tapi dia jawab dengan kata-kata yang persis kayak yang pernah lo bilang. Bahkan bayangan akan pergi saat dia ada di kegelapan, dan ternyata dia beneran pergi ke kegelapannya. Dia nggak izinin gue menemani dia di masa terburuk. Dia tanggung semuanya sendirian, dan ambil keputusan sendiri juga. Dia nggak mikirin gue sama sekali."
Kesadaran Anka terenggut selama beberapa saat. Tidak pernah terpikir olehnya kalau cowok kayak Brav menanggung kesedihan yang begitu besar. Terlebih lagi, dia tidak menyangka kalau omongannya waktu itu ternyata membuat Brav kembali teringat pada semua rasa sakitnya. Tidak heran kenapa cowok itu sampai bertingkah seperti orang lain saat itu, ternyata ini jawabannya.
"Gue yakin lo tau apa yang lo omongin itu nggak bener, dan lo juga nggak mau meyakini itu. Jangan omongin apa yang lo sendiri nggak mau dengar, yang bikin lo sakit. Gue yakin lo tau banget beliau sampai ambil keputusan itu bukan karena nggak mikirin lo, bukan juga karena nggak sayang sama lo."
Anka menatap Brav dalam-dalam, berusaha meyakinkan cowok itu dengan semua omongannya. Dia tidak mau Brav terus menyakiti dirinya dengan mengatakan sesuatu yang sebenarnya disangkal hatinya. Dia tidak mau cowok itu menyesal karena terus berpikir seperti itu, dan pada akhirnya jadi menyalahkan diri. Karena dia percaya, tidak ada ibu yang tidak memikirkan anaknya.
Tanpa terduga, satu senyum lolos di wajah Brav. Tapi Anka harus mengakui, walau hatinya enggan, kalau senyum itu berbeda dari yang biasa. Senyum itu terlihat begitu getir. Semua ketulusan dan keceriaan yang diperlihatkannya selama ini menguap tak bersisa, berganti dengan Brav yang penuh luka.
KAMU SEDANG MEMBACA
Dear Past, Let Me Go
Fiksi RemajaSekuel DRAMA. Anka hidup dalam bayangan masa lalu yang terus membuatnya terlarut dalam penyesalan. Baginya, bayangan bisa mencekik begitu kuat, sampai rasanya sulit melepaskan diri, bahkan sekadar untuk bernapas. Lalu hadir seseorang yang baru di hi...