33. Berusaha Bersama

2.1K 309 66
                                    

Langkah pertama selalu menjadi bagian tersulit dari suatu perjalanan. Namun, akhir tidak akan pernah bisa ditemui bila tidak memulai.

Kehidupan memang sering tidak bisa ditebak dan bertingkah lucu. Saat kita memutuskan ingin bangkit dan menjadi baru, masalah lain akan datang, seolah menjadi tes untuk membuktikan kesungguhan kita. Seringnya, cobaan itu lebih berat dari yang sebelumnya pernah ada. Dan bagi Anka sekarang, cobaannya berupa Rama yang ternyata menulis di kertas selipan dalam novel Pay it Forward.

Memang, Rama tidak menjawab. Namun kebisuan cowok itu menegaskan lebih dari yang seharusnya. Ada jeda beberapa detik sebelum Anka keluar dari kamar Rama setelah mendapat jawaban tersirat itu. Seharusnya, dia masih berada di sana, menanyakan semuanya sampai jadi lebih jelas, karena jelas rasa penasarannya belum terjawab sama sekali.

Kenapa Rama melakukan semuanya? Kenapa harus Anka? Apa yang sebenarnya dialami cowok itu dengan ayahnya? Apa maksud omongan ayahnya, tentang kejadian yang membuat Rama berada di rumah sakit?

Ada begitu pertanyaan yang berputar-putar di otak Anka, tapi dia tetap memilih pergi. Karena nyatanya, memutuskan untuk berubah tidak serta-merta membuatnya benar-benar berani dan bisa melakukan semuanya dengan secepat dan sesantai mungkin. Kenyataan itu tetap membuatnya merasa limbung.

Pada akhirnya, ini yang dipilih Anka, kembali ke rumah untuk menenangkan diri. Walau nyatanya, dia tidak benar-benar yakin bisa tenang. Namun sebelum tiba di rumah, ponselnya berdering. Nama dan foto Brav muncul di layar. Belum sempat mengangkat telepon itu, Anka sudah menemukan cowok itu di hadapannya. Berdiri kaku dengan wajah penuh harap di depan rumah Anka.

Sekelebat rasa yang sulit digambarkan menyeruak ke dalam hati Anka. Sosok yang berada beberapa meter di depannya memang menjadi salah satu yang ingin dia temui secepat mungkin. Namun kenyataan baru yang menyerangnya membuat keadaan jadi kembali rumit. Seharusnya hubungan Anka dan Brav tidak seperti ini jadinya. Hanya karena Rama dan Anka yang salah sangka sejak awal, semuanya jadi kacau. Kalau saja dia tidak menebak orang yang melakukan semua itu Brav, pasti menghadapi kedua cowok itu tidak akan sesulit ini.

Namun Anka sudah menetapkan hati. Dia tidak akan menghindar kali ini. Dia tidak akan melakukan hal yang sama dengan yang sebelumnya, dan membuat semua stagnan. Semua harus diselesaikan. Kalau masalah dan semua kerumitan ini ada karena pikirannya, maka hanya dia yang bisa meluruskan semua benang kusut ini.

"Halo," ujar Anka sambil menekan tombol merah pada panggilan Brav, ketika dia sudah tiba di hadapan cowok itu. "Kita bisa ngomong langsung sekarang."

Brav menatap bergantian Anka dan ponselnya dengan wajah bingung. Butuh beberapa detik sampai senyumnya akhirnya bisa mengembang. Tadinya dia hanya berniat menelepon Anka karena ingin mendengar suara cewek itu. Dia hanya ingin memastikan keadaan Anka sudah jadi lebih baik dari sebelumnya, tapi ternyata ini yang dia dapat. Memang, ketika kita tidak berharap terlalu banyak, biasanya justru di saat itu kita akan mendapat yang jauh dari yang bisa kita duga.

"Kita ke taman?" ajak Brav, karena merasa tempat itu jauh lebih baik untuk mengobrol dibandingkan depan rumah Anka.

Taman ini pernah mereka kunjungi ketika Brav balas memberi Anka makanan. Waktu itu keadaannya Brav masih bisa bertingkah seenaknya. Mengajak Anka pergi juga bukan hal yang sulit, walau kemungkinan besar cewek itu akan menolak. Kalaupun ikut, karena terpaksa, bukan benar-benar mau.

"Awalnya gue kira lo yang selalu kasih kotak makan di kolong meja gue." Anka berbicara sambil menatap lurus ke depan. Ekspresi anak-anak yang bermain di tengah taman itu terlihat kontras dengan mereka berdua. Tapi mungkin, waktu kecil pun, ekspresi ceria itu tidak bisa bertahan lama di wajah mereka, mengingat apa yang terjadi di masa lalu.

Dear Past, Let Me GoTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang