Shoot!!
Anak panah Miya melesat dengan mulus dan menancap pada target yang ia buat seadanya dari batang kayu di sekitarnya. Sudah sekitar 1 jam Miya berlatih panahan sendiri. Beberapa anak panahnya sudah tertancap di batang pohon sekitarnya dan juga target yang ia buat sendiri.
Miya memutuskan untuk istirahat sejenak. Ia meneguk air putih dari cawannya sambil tetap mengatur napasnya. Sangat melelahkan, apalagi berlatih sendirian. Biasanya ia meminta Granger untuk mengajarinya. Namun beberapa hari ini, Miya tidak melihat batang hidung Granger. Sudah 5 hari ini cowok salju itu tidak masuk sekolah tanpa keterangan.
Ia bingung bagaimana lagi caranya untuk meningkatkan dan menambah skill memanahnya. Ayahnya pasti akan menertawakannya andai saja ia tahu kalau skill memanah Miya masih sebatas itu. Tidak ada variasi skill yang bisa membuat Ayahnya yang keras kepala itu takjub.
Miya berbaring di atas bumi yang dipijaknya. Ia menatap langit yang sudah berwarna oren sambil tetap mengatur napas. Rambut-rambut tipis di keningnya masih basah oleh keringat Miya sehabis latihan.
Cewek 16 tahun itu menutup matanya perlahan sambil menghirup udara sore. Tangannya terlentang di atas tanah dengan rerumputan tipis. Semilir angin yang numpang lewat, menyapa kulit-kulitnya dengan lembut. Rasa segar pun perlahan mengikis lelah.
Dalam pejamnya, terlintas bayangan Ayah dan Ibunya tengah tersenyum padanya. Ditambah Nana, adiknya, yang mungkin sangat merindukan sosok kakak. Miya pun tersenyum membanyangkan keluarganya. Bohong besar jika gadis itu tidak merindukan keluarganya. Apalagi, mendengar ocehan-ocehan Ayahnya.
Tak terasa, air mata mulai mengalir dari sudut mata gadis bersurai putih itu. Ia mengatur napasnya mencoba untuk tak terisak. Miya menahan sesak, menggigit bibir bawahnya agar airmatanya tak keluar semakin deras.
Beberapa saat Miya menenangkan diri. Ia enggan membuka mata sebelum airmatanya yang terlanjur tumpah itu mengering.
Gadis itu bangkit setelah merasa kalau airmatanya telah mengering. Ia mengusapnya untuk memastikan tak ada lagi butiran kecengengan yang tersisa di area matanya.
Miya berdiri dan mencabut satu persatu anak panah yang tertancap di berbagai target latihannya. Ia mengumpulkannya dan memasukkannya ke selongsong tempat anak panah itu disimpan. Ia akhiri latihan mandirinya hari ini. Ia harus mempersiapkan bahan makanan untuk makan malamnya nanti.
***
"Seperti yang sudah dijadwalkan sebelumnya, minggu depan akan diadakan test praktik. Jangan lupa persiapkan diri kalian." Tutur pak Roger membuat kelas Master riuh seketika.
Melihat suasana kelasnya tidak kondusif, pak Roger berusaha menenangkan mereka. "Stt.. tenang semuanya!" Seru pak Roger sambil mengetuk-ketuk papan tulis. Suasana kelas itu tenang seketika.
"Penilaian kali ini akan berpengaruh pada penilaian akhir kalian untuk naik Grade. Jadi jangan main-main. Selamat siang!" Pungkas pak Roger lalu melangkah keluar kelas.
Miya sudah tumbang di bangkunya ketika pak Roger sampai di pintu kelas untuk keluar. Begitu juga dengan Claude yang ekspresinya kurang lebih sama dengan Miya. Wajah mereka berhadapan sambil menempel di meja mereka.
"Bahkan, skill gue baru gitu-gitu aja. Udah mau di test?" Keluh Miya pada Claude.
"Sama! Apalagi kalo gue latihan, pasti diganggu terus oleh Dexter!" Balas Claude.
Mereka sama - sama menghela napas berat.
Kepala Miya terangkat lebih dulu dan menengok ke belakang, tempat duduk Granger. Bangku itu masih kosong. Granger belum juga masuk tanpa keterangan. Bagaimanapun juga Miya merasa kehilangan. Terakhir mereka bertemu satu minggu yang lalu ketika mereka makan rusa panggang bersama.
KAMU SEDANG MEMBACA
Challenges to be A Hero
FanfictionMiya memaksa untuk pindah dari kelas Mage ke kelas Marksman, meskipun harus ia harus 'downgrade' ke Master Grade untuk mempelajari teknik dasar seorang hero dan memilih Role yang diinginkan. Alasan pertama, ia tidak memiliki sedikitpun magical skill...