Chapter 14

137 32 15
                                    

Happy Reading❤

-💃-

"Jangan jadi orang bodoh dengan duduk di sini berlama-lama. Lihat, awan pun sudah marah menyaksikan kesedihanmu."

Gladys tetap diam, ia terus menatap batu nisan itu.

"Hei! Gue lagi bicara sama lo," ucapnya sedikit lebih keras dari sebelumnya.

Dengan sangat terpaksa, ia menatap laki-laki yang telah dua kali bicara dengannya, namun belum ia balas dengan satu kata pun.

"Gue masih mau di sini. Lo aja yang pulang."

"Jangan dilihatin bangetlah bodohnya. Langit udah marah besar sama lo dan bentar lagi bakalan ada petir kalau lo masih di sini. Ayo, bangkit!" Laki-laki itu mengulurkan tangannya sambil tersenyum. Gladys tidak peduli, memang siapa dia? Kenal saja tidak, tapi mengapa sangat sok tahu?


Ia tetap bertahan di posisinya dan tetap akan seperti itu sampai ia benar-benar puas menyampaikan isi hatinya. Ia sendiri tidak tahu ada apa dengan dirinya, yang pasti ia akan berkunjung ke tempat ini setiap hari.

"Nggak usah terlalu sedih. Lo cuma kehilangan seseorang. Masih ada orang yang nggak seberuntung lo. Ada yang kehilangan orang tua dalam waktu yang bersamaan, ada yang kehilangan calon suami di hari pernikahannya, ada yang kehilangan sahabat saat merayakan ulang tahun, dan masih banyak kejadian lain. Tapi, apa lo tau sehancur apa mereka? Coba lo lihat ke sekeliling, ada nggak orang selain lo di sini? Ada nggak yang nangis di kuburan pas lagi hujan? Berhenti lihat batu nisan itu, dia nggak bakalan hidup lagi!"

Laki-laki itu menaikkan nada suaranya, tampaknya dia kesal karena sedari tadi dia hanya berbicara satu arah bukan dua arah. Dalam hitungan detik, dia menarik tangan Gladys dan membawanya ke tempat berteduh.

"Gue Arvin Adhitama." Laki-laki itu mengulurkan tangannya. Gladys hanya menatap sekilas tangannya kemudian beralih menatap wajahnya. Lima detik sudah berlalu, tangannya masih setia menanti uluran tangan Gladys.


Iya-iya, gue ngalah.

"Nama gue Gladys Farista. Panggil aja Gladys atau Dys." Gladys menjabat tangan laki-laki yang bernama Arvin itu. Dia hanya tersenyum dan menatap orang-orang di sekitarnya. Masih cukup ramai karena masih pukul 16:00 WIB.

Ia menatap Arvin lama. Entah mengapa ia seperti pernah melihat Arvin sebelumnya, tapi di mana? Mana mungkin di TPU, kan?

"Kita emang udah pernah ketemu dan ketemunya juga di sini," kata Arvin yang sepertinya memahami tatapan Gladys.

Hah? Gak nanya padahal!

Gladys memandangi langit yang tampaknya belum mau menyudahi rintik hujan yang turun. Tatapannya beralih pada baju sekolahnya yang sudah basah. Ia menepuk keningnya pelan lalu mengambil kunci mobil di saku rok.

Mengapa ia bersusah payah menunggu hujan reda? Padahal ia membawa mobil yang akan melindunginya dari rintik hujan yang membasahi bumi.

Ia beranjak dari tempat duduknya dan mulai melangkahkan kakinya meninggalkan pengunjung TPU tersebut, namun belum lima langkah tangannya sudah ditahan oleh Arvin. Gladys hanya menoleh lalu tersenyum tipis.

"Gue lupa kalau bawa mobil. Gue duluan, ya? Semoga ketemu lagi, tapi jangan ketemu di sinilah. Serem soalnya." Gladys melambaikan tangannya sebelum benar-benar memasuki mobilnya yang terparkir tidak jauh dari tempat ia menunggu.

Gadis itu tidak langsung menjalankan mobilnya. Ia melepaskan tas punggungnya dan mengambil ponsel. Tangannya bergerak memeriksa apakah ada hal penting atau tidak.

Ada sepuluh panggilan tidak terjawab dari mamanya, delapan panggilan tidak terjawab dari abangnya, dan lima panggilan tidak terjawab dari Freya.

Gladys mencari kontak mamanya dan memberi tahu jika ia baru saja ziarah ke makam tante Raina dan Cessna. Tidak hanya itu, ia memeriksa pesan masuk dari Freya.

Freya Bawel
Dys, jangan selalu ziarah.
Itu nggak baik buat lo.
Tadi gue lihat lo ke sana terus lo nangis di sana.
Kalau lo peduli sama mereka, harusnya lo berdoa buat mereka bukannya malah nangis di sana.
Mereka jadi sedih.
Cepet pulang, Perajuk❤

Gladys tersenyum membaca pesan masuk dari Freya kemudian membalasnya dengan secepat kilat. Ia beralih ke grup khusus pertemanan mereka yang dinamai dengan "Bucin Zeyeng."

Tidak seperti hari-hari sebelumnya. Jika ia akan tersenyum bahkan terbahak ketika membaca pesan dari grup tersebut, namun tidak dengan saat ini. Matanya melotot melihat Zeline yang menambahkan Aileen ke grup mereka. Bukan hanya itu, mereka bahkan sudah banyak sekali berbincang karena saat beralih ke grup itu, ada 327 pesan yang belum dibaca.

-💃-

"Gladys! Kangen banget, ish!" pekik Freya dari tempat duduknya. Teriakannya tentu menyebabkan banyak pasang mata yang menatap mereka sinis, namun Freya justru melotot itu artinya diam dan jangan mengurus hidup orang lain selagi itu tidak merugikan siapapun.

"Lo kenapa, Fre? Perasaan kemarin juga ketemu."

Gladys meletakkan tasnya di lantai kemudian mengeluarkan buku jam pelajaran pertama. Kebiasaannya yang meletakkan tas di lantai tentu menyebabkan tasnya menjadi kotor tentu akan mengurangi keindahan tasnya.

"Kemarin lo ngomong sama siapa, Dys? Kayaknya ganteng, tuh, Dys." Freya menarik-narik tangan Gladys. Memang apa yang terjadi saat itu? Hanya perbincangan biasa dan tidak lebih. Lagi pula, ia saja lupa siapa nama laki-laki itu. Siapa kemarin namanya? Ah, entahlah. Intinya ada kata Vin pada namanya.

"Sama oranglah, Fre. Ganteng apaan? Gue aja nggak lihat muka dia."

Suara Aileen dan Zeline membuat Gladys menghentikan percakapannya dengan Freya. Freya yang menyadarinya hanya menutup matanya sebentar lalu berbalik menghadap ke tempat duduk Aileen dan Zeline.

"Lin, lo kenapa?" tanya Freya tanpa basa-basi.

"Emang gue kenapa? Gue nggak apa-apa, tuh." Zeline mengerutkan kedua alisnya, otaknya memutar kejadian beberapa hari yang lalu pada saat di rumah Gladys.

"Jangan menghindar. Kita itu udah kayak keluarga. Jangan karena satu masalah terus lo lupain semuanya."

Freya menatap Aileen sinis. Jantungnya berdetak lebih kencang dan napasnya memburu.

"Ini semua gara-gara lo! Kalau pun lo saudara Zeline gue nggak peduli! Gue gak peduli sama isi hati lo dan semua tentang lo. Gue lebih sayang sama Gladys daripada sama lo!" teriak Freya yang mulai kehabisan kesabaran.

Teriakan Freya tentu membuat Zeline tidak kalah tersurut emosi. Zeline menatap Gladys yang masih menatap lurus tanpa menoleh ke belakang padahal mereka bertiga berdebat tentang dirinya.

"Buka mata lo, Fre! Yang lo bela mati-matian itu nggak peduli! Lo lihat orang di samping lo, dia aja nggak natap lo!"

"Buka mata lo juga, Lin! Dia itu emang saudara jauh lo, tapi Gladys? Dia itu udah kayak adik lo! Mending dia gak usah masuk ke cerita kita, kalau cuma mau bikin hubungan kita renggang!"

-💃-

To be continue!

Miracle [Completed]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang