Chapter 22

120 29 15
                                    

Happy Reading❤

-💃-

Gladys terus memandangi foto yang terlihat jelas dalam ponsel Freya. Setelah selesai menyisir rambut Gladys, ia berpindah duduk tepat di hadapan Gladys yang masih tampak bingung. Ia menepuk bahu Gladys kemudian tersenyum tipis. Gladys hanya menatap Freya sekilas kemudian kembali fokus menatap layar ponsel yang menunjukkan foto dua orang gadis.

"Nama gue siapa?" Satu kalimat yang membuat Freya menjerit kesenangan karena akhirnya Gladys mau berinteraksi dengannya.

"Nama lo Gladys dan gue Freya Nadhira, temen yang udah kayak saudara! Jangan cuek-cuek lagi!" pekik Freya kemudian memeluk Gladys. Gladys menutup kedua telinganya sambil terkekeh.

"Gue gak bermaksud cuek, tapi gue bener-bener gak inget semuanya bahkan nama gue sendiri. Sebenarnya gue ini kenapa? Kok bisa amnesia gini?"

Freya beranjak dari tempat duduknya. Ia meletakkan jari telunjuknya di dagu sambil memutar bola matanya. Ia berpikir di mana tempat yang tepat untuk menceritakan segalanya sekaligus mengembalikan ingatan Gladys.

Ia berpikir cukup lama dengan harapan agar tidak salah memilih tempat dan tujuannya dapat tercapai sesuai target. Setelah mendapatkan tempat yang akan mereka kunjungi, ia menarik tangan Gladys pelan dan berjalan bersampingan. Gladys tidak menolak sama sekali, dia mengikuti ke mana Freya membawanya.

Sakit banget rasanya kayak gini. Gue harus ngulang semuanya dari awal, dan parahnya Gladys cuek gitu.

Embusan angin saat ini menjadi teman bagi Freya dan Gladys. Orang-orang yang sibuk dapat dilihat dengan jelas dari sini. Semuanya tampak mempercepat langkahnya dan jangan lupakan raut wajahnya yang cemas bahkan mengeluarkan buliran bening.

Langit hitam tentu membuat orang-orang menarik satu kesimpulan hujan akan segera turun, tapi sebenarnya tidak selalu begitu. Terkadang langit hitam dihadirkan untuk menyadarkan manusia agar mempercepat perbuatannya dan tidak selalu berada di posisi yang sama.

Mungkin sebagian orang tidak sadar jika telah menghabiskan banyak waktu dengan sia-sia. Bisa dilihat saat gerimis, siapa saja pasti mempercepat langkahnya bahkan berlari agar tidak terkena tetesan air, lain halnya jika keadaan biasa-biasa saja, sebagian besar akan bersantai dan berjalan dengan lambat karena merasa tidak ada yang perlu dikhawatirkan.

Di tempat ini orang-orang tidak akan mengenal yang namanya urat malu. Semuanya akan menangis, memohon, bahkan berteriak tanpa memikirkan harga dirinya. Tidak ada yang lebih berharga daripada nyawa seseorang.

Tempat ini juga melukiskan ketulusan. Sebagian besar orang tanpa sadar menunjukkan sifat aslinya. Setelah semuanya terjadi apakah orang itu dapat kembali menerimanya seperti biasa atau malah meninggalkan tanpa pamit?

Ada yang mulai jenuh menunggu seseorang sadar dari komanya, ada yang tetap setia mendorong kursi roda suaminya, ada yang terus meneteskan air mata sambil menempelkan alat bantu dengar di telinganya, dan ada banyak hal lainnya yang sebenarnya dapat terlihat jelas jika benar-benar diperhatikan.

Ada banyak hal yang tidak bisa terjawab saat ini juga dan ada banyak hal yang tidak harus sesuai rencana karena biar bagaimanapun manusia hanyalah makhluk ciptaan yang tidak dapat menentang rencana Tuhan.

"Kita ngapain ke sini?" tanya Gladys sambil mengikuti apa yang dilakukan Freya.

Freya memilih duduk dan tidak menjawab pertanyaan Gladys karena ia ingin Gladys mengetahui maksudnya sendiri dan merasakan apa yang ingin disampaikan oleh Freya. Jika Freya terus-menerus menjelaskan, lalu kapan Gladys mulai mengingat hal-hal kecil dalam kehidupannya di masa lalu?

Saat ini mereka sedang berada di rooftop, tempat kesukaan keduanya. Di tempat ini mereka bisa menikmati angin tanpa adanya suara berisik. Sebenarnya tidak hanya itu alasannya, mereka suka duduk di tempat ini karena ingin melihat aktivitas yang ada di bawah sana, misalnya melihat cogan.

"Gue nanya, lo gak mau jawab?" Kali ini Gladys kembali mengeluarkan suara, namun nadanya berubah menjadi ketus. Itu semua tidak masalah bagi Freya asal gadis itu seperti sekarang, sibuk mencari tahu maksud tertentu dan mengingat apa saja yang sudah terjadi.

Gladys ikut duduk di samping Freya. Tatapannya sama dengan Freya, lurus menatap langit yang sebentar lagi berubah. Matahari akan berganti warna menjadi lebih indah lagi, sebagian besar orang menyukai momen ini bahkan ada yang sengaja pergi ke suatu tempat hanya untuk menyaksikan momen ini atau yang biasa disebut dengan senja.

"Gue bukannya gak mau jawab, tapi gue mau lo harus berusaha pahami semua yang gak diucapkan dari mulut, Dys. Bisa jadi orang tersebut bukan gak mau balas ucapan lo karena dia udah jawab melalui perbuatan. Please pay more attention, okay?"

"Maafin gue, Fre."

Hanya tiga kata, namun berhasil membuat Freya menoleh sambil tersenyum. Untuk pertama kalinya Gladys menyebut namanya.

"Lo udah mulai inget, Dys? Lo udah nyebut nama gue."

"Belum, tapi lagi dicoba. Gue bukannya diem aja selama ini, tapi gue lagi berusaha buat inget nama dan panggilan orang-orang di sekeliling gue."

Gladys kembali melihat layar ponsel Freya yang masih berada di tangannya. Tangannya bergerak menekan satu foto yang di dalamnya ada Freya, Gladys, dan Zeline. Gladys menunjukkan foto tersebut tepat di wajah Freya. Freya yang mengerti maksud perbuatan Gladys menjadi bingung harus menjelaskan seperti apa.

"Dia siapa? Bukannya dia dateng, tapi kok cepet banget pergi lagi terus yang sama dia tadi siapa?"

"Mereka temen kita, kok. Tadi mereka pergi karena ada urusan lagipula mereka kan capek baru pulang sekolah dan kita satu sekolah bahkan satu kelas sama mereka juga."

Gladys mengangguk-angguk sebagai tanda dirinya mulai paham.

"Gue mau pakai dress kayak lo juga," ucap Gladys sambil memandangi dress yang dikenakan Freya. Dia juga merasa dress tersebut sangat tidak asing.

Freya tersenyum mendengar ucapan Gladys yang lagi-lagi membuat Freya ingin berteriak kesenangan. Permintaan Gladys memang satu-satunya hal kecil yang ingin ia dengar. Ia membawa paper bag yang berisikan dress couple walaupun ia tidak tahu apakah berhasil atau tidak.

"Nanti lo boleh pakai karena gue bawa dress kayak gini satu lagi."

Freya mengelus rambut Gladys pelan sambil tersenyum. Gladys meletakkan kepalanya di bahu Freya karena perasaan nyaman itu muncul dengan sendirinya tanpa mengingat siapa Freya yang sebenarnya dan apa hubungannya dengan Gladys.

"Besok gue mulai sekolah lagi, Dys. Gue gak bisa jagain lo sepanjang hari karena ada sesuatu yang harus gue tuntasin di sekolah. Kalau lo butuh apa-apa, lo minta ke tante Mela dan bang Reno, ya."

"Gue mau sekolah juga."

"Lo masih harus istirahat," kata Freya singkat, namun terdengar aneh di telinga Gladys.

"Lo malu punya temen kayak gue? Lo malu punya temen yang fisiknya di sini, tapi otaknya gak bisa bekerja?"

-💃-

Tbc.

Miracle [Completed]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang