Chapter 25

117 27 16
                                    

Happy Reading

-💃-

Freya memejamkan matanya sebentar kemudian menarik kenop pintu. Ia duduk di depan ruangan Gladys dan dalam hitungan detik ia beranjak, namun tampaknya ia telat karena Tante Mela dan Gladys sudah melihat dirinya.

Freya hanya diam, ia sendiri juga tidak tahu harus berbuat apa. Gladys memang lupa ingatan, tapi hati dan pikirannya tentu masih dapat berjalan dengan normal. Mengapa pertanyaan Gladys malah tentang Zeline bukan tentang dirinya? Padahal selama ini yang selalu menemaninya adalah Freya. Saat Gladys membuka matanya juga yang dia lihat Freya lalu mengapa dia malah menanyakan keberadaan Zeline? Zeline hanya datang sekali dan dalam durasi yang singkat. Apakah semudah itu Zeline mencuci otak Gladys?

"Tan, Freya pamit. Freya ada urusan." Freya meraih tangan Mela dan mencium punggung tangannya. Mela mengelus rambut Freya dan memegang bahunya agar tetap berada di sini.

"Fre, kamu gak mau mampir ke rumah? Kamu tahu sendiri kondisi Gladys lagi gimana, masa kamu tersinggung?" tanya Mela, lebih tepatnya terdengar seperti pernyataan.

Freya menatap wanita yang memakai blazer berwarna hitam yang sedang berdiri dan menatapnya penuh harap.

Freya juga bukan manusia yang sabar, Tan. Mungkin Freya bukan siapa-siapa bagi Gladys. Freya bukan marah, tapi Freya cuma butuh waktu buat maklumi ini semua.

Freya hanya menggeleng kemudian melangkahkan kakinya dengan cepat agar buliran air matanya tidak jatuh di sana. Ia tidak ingin Tante Mela dan Gladys melihatnya.  Memang terlihat egois, tapi ia tidak ingin orang tahu bahwa dirinya serapuh ini karena benar-benar merasa sendirian.

Langkahnya terhenti melihat Reno dari jarak yang cukup dekat. Ia tidak ingin melihat siapapun yang ia kenal apalagi menjelaskan, yang ia butuhkan saat ini hanya kesunyian. Reno berjalan ke arahnya, ia sudah tidak punya pilihan lain selain bertemu dengan Reno. Tidak hanya Reno yang saat ini berdiri di hadapannya, ada Zeline dan Aileen yang tersenyum tipis menatapnya. Freya tahu, mereka pasti sedang menertawakan dirinya yang menangis di tengah keramaian seperti saat ini.

Freya tersenyum ke arah Reno lalu melangkahkan kakinya berniat meninggalkan Reno dan kedua gadis yang tidak ingin ia tatap, namun tangannya ditahan oleh Reno. Mau tidak mau, ia kembali memundurkan langkahnya mendekati Reno.

"Kenapa? Gue anter, ya?"

"Gak perlu. Gue mau sendiri."

Tanpa menunggu balasan dari Reno, ia buru-buru melangkahkan kakinya dan meninggalkan orang-orang yang tidak ingin ia temui.

Baginya tetap sama, orang lain tahu apa tentang dirinya? Orang lain tahu apa seberapa hancur hatinya? Orang lain hanya penasaran dengan kisah dan masalah seseorang, dia tidak benar-benar ingin membantu. Matanya memang menatap nanar dan memberi ekspresi seolah-olah merasakan kesedihan, tapi tetap saja. Manusia akan mementingkan diri sendiri daripada orang lain.

Hati diciptakan untuk ikut merasakan bukan malah menyakiti hati yang lain. Masalah dihadirkan untuk memberi pelajaran bukan malah menghadirkan dendam dan tatapan kebencian. Seseorang dipertemukan dengan orang lain, juga bukan tanpa sebab dan akibat.  Semua yang terjadi tidak ada yang kebetulan karena pasti memiliki hubungan keterkaitan.

-💃-

Tangan Freya bergerak menghapus air matanya. Tatapan lurus dan kosong, namun buliran air matanya terus saja mengalir. Freya tidak langsung kembali ke apartemen, ia memilih untuk menghabiskan waktu di taman rumah sakit.

Suasananya masih sama saat Freya duduk di sini beberapa hari yang lalu. Taman ini menjadi tempat penenang bagi pasien maupun keluarga pasien. Siapa saja yang duduk di sini tentu ikut merasakan ketenangan dan kesejukan.

"Jangan bengong."

Arvin duduk di samping Freya dengan senyuman jahilnya. Freya hanya menatapnya sekilas kemudian mengalihkan pandangannya ke depan. Arvin membuka tutup botol minuman dingin yang baru saja dia beli di kantin kemudian meminumnya hingga tinggal setengah.

Cuaca hari ini lebih panas dari kemarin, oleh sebab itu Arvin memutuskan untuk duduk sebentar di taman. Namun, saat melihat Freya yang duduk sendirian, dia berniat menghampiri Freya dan menceritakan tentang perasaannya walapun Freya tentu tidak betah berada di dekatnya dalam jangka waktu yang cukup lama.

"Gue mau nembak Gladys. Gimana menurut lo?" tanya Arvin tanpa berbasa-basi. Arvin memandang wajah Freya yang kesal. Matanya juga sembab karena menangis. Entahlah, Arvin tidak tahu apa yang terjadi dengan gadis yang sedang duduk di sampingnya. Jika bertanya pun, Freya tidak akan menjawabnya melainkan meninggalkan dirinya dengan banyak tanda tanya.

Pertanyaan Arvin tentu membuat Freya langsung menoleh ke sumber suara. Ia menatap wajah Arvin dengan tatapan tajam seakan-akan ia tidak setuju. Ia terus memadangi wajah Arvin, tidak ada wajah bercanda di sana. Bola mata Freya bergerak ke kanan dan kiri. Ia sendiri juga bingung harus merespon bagaimana. Ia takut kata-katanya akan menyakiti hati Arvin. Jujur saja, Arvin memang laki-laki yang baik.

"Gue butuh jawaban, Fre."

"Gue mohon sama lo, tolong pikirin baik-baik tentang itu semua. Gue gak keberatan kalau lo nembak Gladys, tapi dengan keadaan dia yang kayak gini itu semua kedengaran aneh, Vin."

Arvin hanya diam menunggu Freya kembali berbicara. Arvin yakin Freya bukan tipe orang yang sembarangan dalam mengatakan sesuatu. Freya pasti akan menjelaskan maksud dari perkataannya.

Freya beranjak dan berdiri tiga langkah dari tempat ia duduk sebelumnya. Tangannya bergerak memperbaiki rambutnya yang menjadi khusus karena embusan angin. Gadis yang menggunakan dress itu terdiam cukup lama. Ia memandangi para pengunjung pasien yang berjalan di sekitar taman.

"Lo gak mau kalau semua yang lo lakuin itu sia-sia. Gue tau lo pasti berharap banyak sama Gladys, kan? Kalau lo nembak Gladys sekarang pasti ada banyak kemungkinan, Vin. Pertama, dia nolak lo yang entah apa alasannya dan kedua, dia nerima lo. Coba pikirin,  gimana kalau dia tiba-tiba inget dan gak ngakuin lo sebagai pacarnya? Lo siap nerima kemungkinan-kemungkinan itu?"

Arvin ikut beranjak dan berdiri di samping Freya. Arvin terus memutar pikirannya dan menghubungkannya dengan ucapan Freya.

"Vin, gue gak punya niat lain. Gue sayang sama Gladys, dan sebagai sahabat gue juga pengen yang terbaik buat dia. Di sini bukan cuma lo yang terluka, gue juga sama hancurnya. Gue gak nyuruh lo buat urungkan niat, tapi gue cuma minta lo buat mikirin semuanya lagi."

Freya mengambil sling bag berwarna hitam di kursi taman kemudian meninggalkan Arvin begitu saja. Freya tidak mau melihat Gladys dan tante Mela yang tentu akan melewati taman untuk sampai ke parkiran.

-💃-

Ada harapan buat kisah ini?

Miracle [Completed]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang