Chapter 7

214 48 72
                                    

Happy Reading❤

-💃-

Seorang gadis cantik yang sering dipanggil dengan sapaan Gladys tengah berjalan menyusuri koridor, namun ia tidak sendirian melainkan bersama Mamanya karena kejadian itu menyebabkan ia harus kehilangan penglihatan. Bukan hanya bergantung pada Mamanya, gadis itu juga bergantung pada sebuah benda yang sering disebut alat bantu untuk meraba jalan atau sesuatu yang ia butuhkan.

"Ma, Mama berangkat aja ke kantor. Gladys bisa kok jaga diri."

Gladys melepaskan genggaman tangan Mela sambil tersenyum walaupun ia tidak dapat melihat balasan senyuman dari Mela.

"Mama anterin kamu sampai ke kelas, Sayang." Tanpa membuang banyak waktu, Mela kembali meraih pergelangan tangan Gladys dan berjalan ke kelas putrinya.

Jika dahulu putrinya ditatap kagum oleh sebagian orang, maka lain halnya dengan sekarang. Tatapan mereka seolah menyayat hati Mela. Orangtua mana yang tidak sedih anaknya ditatap seolah tidak pantas menjadi manusia hanya karena  kehilangan penglihatan?

Mela mencoba berjalan secepat mungkin untuk menjauhi Gladys dari tatapan sinis orang-orang di sepanjang koridor. Mela tetap tidak ingin membuat Gladys semakin sedih jika mendengar bisikan-bisikkan tidak menyenangkan dari teman-teman satu sekolahnya. Gladys hanya diam seraya mempercepat langkahnya seperti yang dilakukan oleh Mela.

Sesampainya di depan kelas, Gladys menghentikan langkahnya lalu melepas pergelangan tangan Mela.

"Ma, sampai di sini aja. Mama hati, ya."

Gladys meraba tubuh Mela berniat mencari tangan kanan Mela yang baru saja ia lepas. Mela yang memahami tujuan Gladys memberi tangan kanannya. Gadis itu tersenyum lalu mencium punggung tangan Mela dan melangkahkan kakinya ke dalam kelas. Sebelum putrinya melangkah lebih jauh lagi, Mela mengacak rambut Gladys pelan.

"Hati-hati di sekolah, Sayang. Nanti Mama jemput, kamu tunggu di dekat pos satpam, ya?"

Gladys hanya mengangguk kemudian kembali melangkahkan kakinya masuk ke dalam kelas. Baru satu langkah memasuki kelasnya, entah mengapa rasanya berbeda dari sebelumnya. Terdengar banyak sekali bisikan, bukan bisikan yang menyenangkan melainkan bisikan yang merendahkan Gladys.

"Si Gladys masih berani sekolah di sini? Eww, nggak tau diri banget."

"Dia mah cocoknya sekolah di SLB bukan di sekolah yang bagus kayak gini."

"Udah buta masih aja nggak ngaca."

Begitulah bisikkan dari teman satu kelas Gladys. Ia pikir semuanya akan sama seperti yang dulu bahkan ia berpikir teman-temannya mau membantu dirinya ketika sedang berada dalam kesusahan seperti saat ini. Jika dari luar kelas ia sudah mendengar bisikan dari orang asing, ia tidak terlalu membawa pusing, tapi jika dari teman-teman sekelasnya terasa sangat berbeda karena ia sudah menganggap mereka sebagai keluarga. Ia pikir berada di kelas jauh lebih baik, namun malah sebaliknya.

Gladys kembali memutar badannya mencari pintu kelas dengan susah payah. Teman satu kelasnya tidak ada yang bersedia mengantarnya atau sekadar membantunya. Mereka malah tertawa seolah-olah ini sebuah candaan.

Saat ini ia ingin segera kembali ke rumah dan berdiam diri di sana. Mungkin apa yang mereka katakan itu benar, seorang gadis berkebutuhan khusus tidak pantas berada dalam satu ruangan yang sama dengan orang-orang yang bisa melakukan segala hal sendiri.

Jika ditanya tentang keinginan, ia juga tidak ingin hal ini terjadi. Jika pun terjadi, lebih baik Tuhan mengambil dirinya daripada ia harus merasakan pedihnya dihina oleh orang-orang yang sudah ia anggap sebagai keluarga. Ia tidak tahu apakah Freya dan Zeline berada di sana atau tidak, tapi yang pasti ia tidak akan datang ke tempat ini lagi.

Kakinya terus melangkah menyusuri koridor yang terasa dua kali lebih luas daripada sebelumnya. Ia terus berusaha mencari jalan untuk ke lantai bawah, namun tidak berapa lama kemudian ia mendengar suara dua orang gadis yang sangat ia butuhkan saat ini, Freya dan Zeline.

Ia terus mencari asal suara Freya dan Zeline. Kedua temannya itu sedang tertawa dan terdengar sangat bergembira. Ia semakin meraba jalanan depan dan sampailah ia pada tempat itu. Jika ia dengan susah payah mencari keberadaan kedua temannya, lain halnya dengan mereka. Mereka malah meninggalkannya tanpa mengeluarkan satu patah kata pun.

"Kenapa kalian pergi? Gue udah susah payah biar bisa nemuin kalian. Gue sampai jatuh berkali-kali demi nyari kalian." Gladys memutar badannya agar mereka berhenti dan benar saja, mereka melakukan hal yang diharapkan Gladys.

"Itu lo udah sadar. Lo tau kalau ketemu kami berdua aja lo harus jatuh berkali-kali. Itu artinya lo nggak sempurna lagi," ujar Freya enteng.

"Ntar kalau kita temenan, yang ada lo nyusahin terus." Kali ini Zeline ikut menambahkan kalimat yang menohok hati Gladys. Terdengar suara langkah kaki yang semakin menjauh menandakan keduanya sudah pergi.

"Oh iya, satu lagi! Sekarang lo udah bukan temen kami lagi karena kami udah dapet temen baru yang nggak cacat kayak lo!" teriak Freya dari tempat yang sudah menjauhi Gladys.

"Jangan tinggalin gue. Gue nggak bisa tanpa kalian!" pekik Gladys yang tentunya membuat Mela terbangun dari tidurnya dan langsung menghampiri putrinya bankar.

"Kamu kenapa, Sayang?" tanya Mela lembut seraya mengambil air putih kemudian membantu Gladys untuk duduk.

"Cuma mimpi, Ma. Mama, lanjut tidur aja."

Mela tersenyum meskipun Gladys tidak melihatnya. Mengapa dia diberikan putri sebaik Gladys? Di saat dirinya lebih membutuhkan siapapun untuk memberi motivasi, ia malah sibuk memikirkan perasaan orang lain agar tidak merasakan kesedihan.

Suara ketukan pintu membuat Mela menoleh dan tanpa ia sangka ternyata seseorang yang ia harapkan telah datang sambil membawa travel bag berukuran besar. Bukan itu yang membuat Mela senang, tapi orang itu datang dengan senyuman dan tanpa buliran bening sedikit pun.

"Lo ngapain, sih, Dys? Kalau kangen sama gue mah, bilang aja." Orang itu terkekeh. Tangannya bergerak mengelus rambut Gladys.

"Ish! Apaan lo ngomong kek gitu, Bang? Siapa juga yang kangen sama lo."

Gladys membuat gaya orang yang ingin muntah, lebih tepatnya muntah mendengar tingkat kepercayaan diri orang yang ia panggil Bang itu. Ya, laki-laki itu adalah saudara kandung Gladys. Mereka memang jarang sekali bertemu karena Abangnya harus melanjutkan pekerjaan di luar  negeri. Pada mulanya Mela tidak setuju, namun putranya membujuk dengan sepenuh hati dan dengan terpaksa ia harus melepaskan putra satu-satunya.

"Jadi, kapan lo bawain kakak ipar buat gue? Gue udah pengen banget gendong ponakan." Pertanyaannya suskses mendapat satu toyoran dari Abangnya. Ia terdiam sejenak kemudian terbahak mengingat pertanyaan dirinya yang terkesan konyol. Harusnya Mela yang segera menginginkan cucu, tapi mengapa Gladys yang sangat ingin keponakan?

"Freya sama Zeline mana, Dys?"

-💃-

Hallo hallo hai. Balik egen hehe. Semoga besok-besok cepet update, yo.

Saran & kritik ditunggu❤
Vote & komen juga ditunggu❤

Miracle [Completed]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang