Chapter 16

136 36 14
                                    

Happy Reading❤

-💃-

Freya berdiri menatap lurus ke dalam ruangan. Ia sangat benci berada di tempat ini. Hanya sebagian kecil orang yang merasa bahagia di tempat ini dan lebih banyak buliran bening yang jatuh di tempat ini. Sama halnya dengan sekarang, baju Freya sudah dipenuhi dengan darah yang bercampur dengan air mata. Entah seperti apa keadaannya sekarang.

Tuhan, apa maksud ini semua? Gladys itu anak baik. Meskipun dia buta, bisu, tuli, atau lumpuh sekali pun dia tetap gak akan nyalahin takdir. Harusnya Freya aja yang ada di dalem, Freya gak bisa jagain dia.

Mela dan Reno berjalan dengan tergesa-gesa menghampiri Freya yang berada di depan UGD. Freya menatap Mela sekilas lalu beralih ke Reno. Benar, mereka tidak menyalahkan siapapun. Mereka hanya berdoa kepada Tuhan.

Buliran bening itu kembali membasahi pipi Freya. Mengapa bisa ini semua terjadi kepada Gladys? Lihat, di antara mereka tidak ada yang marah atau menyalahkan apa pun. Bagi mereka, yang terjadi biarlah terjadi, tidak perlu mengungkit apa pun karena tidak akan membawa perubahan.

"Fre, lo nggak ke sekolah?" tanya Reno tanpa basa-basi. Dia menatap jamnya yang sudah menunjukkan pukul 07:20 WIB.

"Adik gue lagi berusaha perjuangin hidup di dalem. Ketinggalan pelajaran satu hari nggak akan buat gue bego, Bang."

-💃-

Sudah dua hari Freya berdiri di depan ruangan Gladys. Tidak, saat ini gadis itu bukan lagi di UGD, melainkan ICU. Benturan di kepalanya yang sangat keras menyebabkan Gladys belum membuka matanya hingga saat ini. Freya tidak bisa berhenti menangisi keadaan ini.

Tidak cukupkah dengan kecelakaan besar kemarin? Mengapa sekarang dia harus koma? Lihat, ada banyak sekali alat yang menempel di tubuh gadis itu.

Ada dua kemungkinan yang terjadi, hidup dengan berbagai kemungkinan atau menemui Tuhan?

Freya masih menatap lurus ke depan, ia bingung harus melakukan apa. Jangankan untuk bersekolah, bahkan ia belum mengganti bajunya saat membawa Gladys ke sini. Itu semua sama sekali tidak menjadi masalah, ia hanya hidup sendirian di sini. Tidak akan ada yang keberatan jika ia tidak pulang ke apartemen.

Darah yang sudah mengering di bajunya pun tidak ia pikirkan sama sekali. Tatapan orang yang berlalu-lalang pun tidak membawa perubahan sama sekali. Biarlah, apa urusan mereka?

Ia mengambil ponselnya dari saku dan mencoba menghubungi nomor seseorang. Untuk kali ini ia tidak akan gengsi menghubungi orang itu. Ya, orang itu adalah Zeline. Ia tahu jika Gladys sangat membutuhkan Zeline di sini.

Dua detik kemudian ia berubah pikiran. Ia sedang tidak ingin berbicara dengan siapapun, akhirnya ia memutuskan untuk mengirim pesan singkat saja.

Freya Nadhira
Lin, ke rumah sakit sekarang.
Gladys koma.
Gue tunggu.

Mela dan Reno berjalan menghampiri Freya. Mereka menatap Freya cukup lama. Ia hanya tersenyum untuk meyakinkan mereka bahwa ia baik-baik saja.

"Fre, lo pulang dulu terus istirahat. Besok baru ke sini," ujar Reno sambil memberikan minuman dingin kepada Freya, namun gadis itu hanya menggelengkan kepala sebagai jawaban bahwa ia tidak membutuhkan apa pun.

"Freya, Gladys nggak apa-apa, kok. Kamu juga harus mikirin diri kamu sendiri baru mikirin Gladys. Lagi pula ada Tante dan Bang Reno di sini." Mela mengelus kepala Freya sambil tersenyum.

Mau tidak mau ia harus menuruti omongan mereka. Jika Mela sudah berbicara demikian, maka tidak ada alasa sedikit pun atau Mela akan marah kepadanya.

Setelah menyalami Mela lalu berpamitan, ia melangkahkan kakinya menjauhi ruangan Gladys. Ia harus segera sampai ke apartemen dan beristirahat sebentar, hanya hari ini saja.

-💃-

Sembilan hari setelah kejadian itu, Gladys belum juga bangun dari komanya. Ia masih menutup matanya dengan tenang. Tentu saja Freya marah kepada Gladys. Mengapa pula dia tega membiarkan Freya sendirian? Katanya ia akan ke sekolah dan menemani Freya, tapi mana? Bahkan sudah sepuluh hari juga mereka tidak masuk ke sekolah.

Soal Zeline dan Aileen ia benar-benar sudah tidak peduli. Zeline hanya membaca pesan singkat yang dikirimkannya beberapa hari lalu. Ternyata Gladys benar, gadis itu tidak baik untuk Zeline.

Freya duduk di kursi depan ruangan Gladys. Kali ini ia tidak memakai dress seperti biasanya, ia memakai jeans putih dan kemeja berwarna hitam dengan perpaduan warna putih. Rambutnya yang lima senti meter di bawah bahu ia kuncir padahal biasanya akan ia biarkan saja karena kalau dikuncir pasti rambutnya akan menjadi sedikit kusut, tapi apa pedulinya itu semua? Itu semua tidak menjadi masalah besar karena yang ada di dalam pikirannya adalah, kapan Gladys bangun? Kapan Gladys akan terbahak ketika melihat dirinya marah? Kapan Gladys akan mengelus bahunya saat ia sedang kesal? Ke mana Tuhan membawanya? Apakah benar, Tuhan tidak akan mengembalikannya lagi atau Tuhan sekadar meminjamnya?

Gladys mengelus rambut Freya sambil tersenyum. Gadis itu terus melakukan hal yang sama hingga Freya terbangun dari tidur lelapnya.

"Dys, lo udah bangun?" Freya menatap Gladys dengan berbinar, namun gadis itu tidak menjawab melainkan hanya mengangguk.

"Dys, ayo pulang! Gue gak mau lama-lama di sini." Freya menarik tangan Gladys. Gadis yang ditarik tangannya tetap tidak berpindah dari tempat dia berdiri.

"Gue bahagia di sini, Fre. Di sini gak ada yang gangguin gue. Lo jaga diri baik-baik, ya." Gladys melambaikan tangannya dengan senyuman lebar.

"Dys! Lo mau ke mana? Lo ninggalin gue? Jangan pergi!"

Tampaknya tugas matahari pada hari ini telah usai, perlahan cahayanya tenggelam dan digantikan oleh cahaya bulan serta bintang. Waktu begitu cepat berlalu, lagi dan lagi Freya tertidur di kursi tunggu. Memang bukan pemandangan yang indah, tapi ia tidak akan hal buruk kembali terjadi pada Gladys. Ia akan selalu menunggu di luar agar ia tahu siapa saja yang masuk ke ruangan Gladys.

"Tuhan, jangan bercanda lagi! Jangan ambil Gladys! Tuhan, aku sedang tidak ingin main-main!"

Freya mengacak rambutnya frustasi. Orang-orang yang berada tidak jauh dari Freya hanya memadangnya kasihan. Mungkin mereka bukan orang baru di sini, oleh sebab itu mereka tidak merasa terganggu karena tahu tentang kesedihan gadis remaja itu.

"Tuhan, jika Zeline memang bukan untukku itu bukan masalah besar karena setidaknya aku masih melihatnya setiap hari, tapi apa rencana-Mu ini? Apa salah Gladys? Jika Gladys pergi, maka aku akan ikut dengannya!"

"Tidak tidak, bukan begitu. Tuhan, pinjam saja dia beberapa hari ini, itu tidak masalah. Tapi, tolong besok tepat sepuluh hari Gladys berada di sini, tolong kembalikan denganku lagi, ya? Kumohon."

-💃-

To be continue.

Miracle [Completed]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang