Extra Chapter

249 22 16
                                    

Gatau kenapa tiba-tiba mo buat hehe. Mungkin karena ada beberapa yang minta dibuatin. Semoga endingnya memuaskan. Ini bener-bener chapter terakhir, sudah berakhir kisahnya. Owkay?

Sebelum itu, ayo vote dulu muehehe.

Sudah? Yuk, meluncur!

Happy Reading ❤

-💃-

Seorang gadis yang memakai pakaian serba hitam lengkap dengan kacamata hitam yang menutupi matanya, tengah berdiri di samping batu nisan yang sepertinya sudah lama sekali tidak dikunjungi. Terlihat dari tanahnya yang kering dan tidak ada satu pun bunga yang bertaburan di atasnya. Tangan kanannya yang memegang payung berwarna senada dengan pakaiannya membuat ia semakin ingin berlama-lama di sini.

Gladys memutuskan untuk mengubah posisinya menjadi duduk. Payung hitam yang sedari tadi ia gunakan untuk melindunginya dari terik matahari, kini ia tutup perlahan. Ia melepaskan sandal jepit yang ia gunakan sebagai alas agar celana yang ia gunakan tidak kotor. Untuk pertama kalinya ia memutuskan untuk tidak memakai dress dan high heels. Ia menatap lurus ke depan, membayangkan hari-hari itu. Ingin sekali rasanya kembali ke dimensi itu, merekam segala kejadian itu agar dapat menjadi kenangan.

Orang yang juga berziarah sesekali memendanginya intens. Memang apa yang salah dari dirinya? Tidak bolehkah berkunjung dan duduk di sini? Orang-orang hanya bisa melihat lalu mengeluarkan argumen tanpa tahu yang sebenarnya. Apa pun itu, Gladys tidak peduli.

Memaafkan dan melupakan dua hal adalah sesuatu yang sulit baginya. Entah karena kisah ini cepat sekali berakhir, atau karena rasa cinta yang masih ada di dalam hati?

"Vin, maafin gue, ya? Gue baru ziarah ke sini. Gue benar-benar bingung sama perasaan gue sendiri. Di satu sisi gue marah sama lo, tapi sisi lain di diri gue benar-benar gak mau kehilangan lo."

Gladys mengusap batu nisan yang bertuliskan nama Arvin Adhitama. Tubuhnya perlahan mendekat, menyandarkan kepalanya di atas batu nisan. Tangan kirinya bergerak mengusap tanah yang telah penuh dengan rumput. Buliran air mata mulai membasahi pipi Gladys. Tidak peduli apakah di sana Arvin juga merindukannya atau tidak, yang jelas ia benar-benar tidak bisa membohongi perasaan sendiri.

Lima hari setelah pertemuan mereka di rumah sakit jiwa, Aileen menghubungi Gladys. Gladys tidak menjawabnya karena masih marah kepada mereka berdua. Usaha Aileen tidak sampai di sana, dia mengirimkan banyak sekali pesan masuk kepada Gladys yang hanya berujung dengan tanda centang dua abu-abu.

Saat itu Reno masih menjalani beberapa perawatan hingga benar-benar pulih. Untung saja Reno masih dapat diselamatkan karena segera dibawa ke rumah sakit. Dua hari setelah Reno diperbolehkan pulang, jari Gladys tidak sengaja menekan kontak Aileen. Memang penyesalan selalu datang terlambat, Aileen memberi kabar bahwa Arvin meninggal karena berusaha kabur dari polisi. Polisi berniat menembak Arvin agar laki-laki itu tidak dapat berlari lagi dan mempertanggungjawabkan perbuatannya yang berusaha menghilangkan nyawa seseorang, tapi ternyata salah sasaran. Bukan kaki Arvin yang mengenai peluru, melainkan punggung Arvin yang ternyata tembus hingga mengenai jantung Arvin membuat nyawanya tidak dapat diselamatkan.

"Coba aja waktu itu gue gak laporin ke polisi, mungkin sekarang kita masih bisa sama-sama perbaiki sikap dan hubungan kita. Gue bohong kalau bilang gak ada perasaan ke lo. Maaf gue benar-benar gak berarti, kan, Vin? Lo gak bakalan bisa balik lagi ke sini, ngusap kepala gue, senyum ke gue, dan apa pun itu, Vin."

Gladys terdiam beberapa menit, memikirkan suatu cara agar dapat menemui Arvin. Ia menghapus air mata yang terus mengalir, mengubah posisi menjadi duduk lalu menatap lagi batu nisan itu.

"Gue bunuh diri aja kali, ya, Vin? Gue mau sama lo aja, kayaknya gue bakalan tenang di sana." Ia mengangguk-anggukkan kepalanya, memantapkan niat.

"Kalau lo ikutan pergi ke sana, kak Arvin bakalan marah besar sama gue karena gak bisa jagain lo, Dys."

Suaranya sangat tidak asing, Gladys menengadahkan kepalanya. Benar saja, Aileen berdiri di samping Gladys kemudian menatapnya seraya tersenyum tipis. Sudah tidak ada raut kebencian yang Gladys tujukan kepada Aileen. Membenci seseorang tidak akan memberikan apa-apa, kan? Hanya semakin menyesakkan karena sibuk memikirkan sesuatu yang seharusnya tidak pantas untuk mengisi ruangan di dalam pikiran.

"Kak Arvin pasti seneng banget lo mau mampir ke sini. Kak Arvin udah tenang di sana, Dys. Jangan buat dia semakin merasa bersalah karena lo punya niat bunuh diri. Jangan, ya? Kita sama-sama perbaiki diri."

Gladys mengangguk lalu beranjak dari tempat duduknya. Apa yang dikatakan Aileen ada benarnya. Ia ke sini hanya untuk sekadar mengunjungi Arvin, bukannya malah ingin bunuh diri agar dapat bertemu dengan Arvin.

"Makasih motivasinya, Ai. Gue harus berangkat ke bandara karena sebentar lagi pesawat gue boarding." Aileen cukup tercukup mendengar ucapan Gladys baru saja, tapi sepertinya dia tidak berani bertanya mungkin karena merasa tidak enak.

"Gue mau pindah sekolah ke luar kota, Ai. Di sini malah bikin gue ingat sama kejadian-kejadian itu, termasuk kejadian sama abang lo."

Aileen mengangguk sebagai responnya. Aileen mengenggam tangan Gladys cukup lama lalu memberikan bunga yang baru saja Aileen beli sebelum datang ke pemakaman. Gladys menerimanya dengan senang hati. Aileen mencabut rumput yang sudah mulai tumbuh, sedangkan Gladys menaburkan bunga-bunga berwarna merah dicampur dengan air dan bunga lainnya. Kini tumpukan tanah yang bernamakan Arvin Adhitama itu kelihatan lebih berwarna.

"Gue pamit, Vin. Doain gue biar bisa jadi cewek yang kuat dan sukses. Sampai ketemu, Vin."

Gladys mengusap batu nisan itu lalu berdiri. Aileen juga melakukan hal yang sama.

"Makasih, Ai. Gue duluan, ya. Jaga diri lo baik-baik dan jaga kesehatan juga. Sampai ketemu di lain waktu, Ai."

Aileen menarik tubuh Gladys. Memeluknya erat sebagai tanda perpisahan. Setelah cukup lama menyalurkan kehangatan, Aileen melepaskan pelukannya. Gladys tersenyum tipis, kembali menggunakan payungnya dan berjalan menjauh. Tangan kirinya menarik travel bag berwarna biru.

Gue cuma bisa natap batu nisan itu, Vin. Gue udah gak bisa lihat wajah lo, tapi gue yakin lo sebenarnya masih ada di sekeliling gue. Makasih udah ngajarin gue cara memaafkan dan mengikhlaskan, Vin. Gue sayang sama lo, Vin. Tapi, maut udah misahin kita. Gue tetap percaya sama rencana Tuhan, kok.

- T A M A T -

Finally! Selesai juga hehe. Gimana gaes? Biasa aja, kan? 😂 Gak sedih, kan? Jadi, jangan marah sama aku karena aku tu emang baik. Endingnya juga udah ga gantung, jadi sampai ketemu di cerita aku yang lainnya! Makasih juga udah baca cerita ini sampai bagian terakhir dari kisah Gladys dan Arvin. ❤

See you!

Kamu telah mencapai bab terakhir yang dipublikasikan.

⏰ Terakhir diperbarui: Sep 30, 2020 ⏰

Tambahkan cerita ini ke Perpustakaan untuk mendapatkan notifikasi saat ada bab baru!

Miracle [Completed]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang