Chapter 27

125 24 22
                                    

Happy Reading❤

-💃-

Freya terus memandangi Gladys yang tengah duduk di sampingnya. Gadis itu memakan bakso dengan lahapnya. Aroma bakso yang begitu kuat membuat Freya juga ingin memesannya. Makanan berkuah itu terbilang sederhana karena tidak terlalu mahal. Harganya yang tidak sampai 20 ribu tentu membuat siapa saja menyukainya. Dari kalangan anak-anak hingga yang sudah berusia lanjut menyukai makanan ini.

Suasana kantin yang ramai membuat Gladys merasa tidak nyaman berada di tempat ini berlama-lama. Ia menoleh ke arah Freya yang sedang memakan bakso. Freya menaikkan satu alisnya karena mulutnya sedang penuh dengan bakso.

"Cepet habisin terus kita balik ke kelas."

Freya mengangguk dan memasukkan tiga buah bakso secara sekaligus ke dalam mulutnya. Freya menelannya dengan susah payah lalu meminum air putih yang tersedia di meja kantin. Tangan Gladys bergerak memukul kening Freya pelan. Ia hanya meminta Freya agar lebih cepat, bukannya malah makan seperti orang tamak.

Freya hanya cengar-cengir seperti orang yang tidak melakukan apa-apa. Tangan Freya menarik Gladys agar segera meninggalkan kantin yang semakin ramai. Kantin ini bukan satu-satunya tempat untuk mengisi perut, di lantai ini ada tiga kantin. Di antara ketiga kantin yang berada di lantai ini, hanya kantin ini yang paling ramai karena penjualnya sangat ramah bahkan sering diajak bercanda bersama.

Gladys mengikuti langkah kaki Freya. Keduanya berjalan berdampingan sambil memperhatikan setiap siswa yang berlalu-lalang di sepanjang koridor. Waktu istirahat masih cukup panjang, namun kelas mereka sudah di depan mata. Gladys menarik tangan Freya ke arah tangga dan menuruninya satu per satu.

"Mau ke mana, Dys?" tanya Freya sambil menuruni anak tangga.

"Mau jalan-jalan ke bawah terus muter. Nah, terakhir kita ke taman belakang."

Gladys tersenyum lebar ke arah Freya. Freya balas tersenyum karena akhirnya Gladys sudah mulai banyak berinteraksi dengannya. Keduanya sudah tidak seasing saat Gladys baru bangun dari koma. Mungkin saat itu Freya sangat sedih karena Gladys kehilangan ingatan bahkan memanggilnya dengan sebutan mbak.

Embusan angin terasa sangat menyejukkan saat mereka sampai di lantai paling bawah. Di lantai ini tidak ada ruang kelas, hanya ada ruangan yang digunakan untuk para guru saja. Mereka menyusuri koridor yang akan membawa mereka sampai ke taman belakang.

Terik matahari tidak menjadi penghalang untuk tidak beraktivitas. Para pemain basket justru dengan lincahnya memasukkan bola ke dalam ring. Mereka tidak terlalu memperhatikan lapangan karena tidak tertarik sama sekali, lain halnya dengan gadis-gadis centil yang rela berpanas-panasan hanya untuk mencuri perhatian sang pujaan hati.

Tiba-tiba saja bola basket tersebut mengenai kepala Gladys. Entah bagaimana ceritanya, padahal mereka berada di koridor, itu artinya jarak koridor dengan lapangan tidak terlalu dekat. Memang mereka yang begitu kasar bermain atau terlalu bersemangat? Yang pasti Freya sudah melotot ke arah laki-laki yang mengenai bola ke kepala Gladys.

Gladys memegang kepalanya, ia merasakan pusing yang sangat hebat hingga akhirnya tubuh Gladys jatuh ke lantai. Freya berjongkok memastikan keadaan Gladys, namun gadis itu sudah lebih dulu tidak sadarkan diri. Freya berdiri, menatap para pemain bola basket dan siap mengeluarkan amarahnya.

"Heh! Kalian itu bisa main atau gak? Temen gue jadi pingsan gini, bawa temen gue ke UKS!" teriak Freya kesal.

Arvin menghampiri Freya dan segera mengangkat Gladys tanpa basa-basi. Freya juga tidak sadar jika Arvin ikut bermain basket. Ah, sudahlah. Freya juga tidak peduli dengan semua itu. Laki-laki itu membawa Gladys dengan langkah lebar, Freya dapat melihat raut wajah Arvin yang cemas. Arvin termasuk ke dalam golongan orang yang memiliki wajah ganteng, wajahnya yang bersih, hidung mancung, dan rambut yang disisir rapi tentu menambah kesan elegan dalam dirinya.

Bau khas obat-obatan langsung masuk ke dalam indra penciuman. Etalase yang berisi obat-obatan pun menjadi bukti bahwa keadaan UKS masih terawat dan sudah layak digunakan. Di sekolah mereka bukan hanya petugas PMR yang menjaga UKS melainkan ada seorang bidan yang ditugaskan khusus untuk menangani siswa yang sakit karena PMR hanya membantu sekadarnya.

Ruangan yang didominasi dengan warna putih itu terlihat jelas saat Gladys membuka matanya. Ia memegang kepalanya yang masih terasa pusing, tapi tidak separah sebelumnya. Matanya memandang tempat yang tidak asing, ia akan selalu datang ke tempat ini jika sedang merasa tidak nyaman di kelas. Ia masih ingat terakhir kali ia datang ke sini karena ada masalah dengan Zeline. Kejadian itu terekam jelas dalam ingatannya.

Pandangannya beralih menatap dua orang yang sedang menatapnya dengan raut wajah khawatir. Rasanya ia ingin terbahak melihat wajah Freya yang terlihat begitu menggemaskan saat sedang cemas seperti sekarang dan orang yang ada di samping Freya juga tidak begitu asing. Ah iya, dia Arvin. Laki-laki yang selalu mengatakan agar tidak berlarut dalam kesedihan.

"Dys, lo gak apa-apa, kan? Yang mana yang sakit? Nanti kita langsung ke rumah sakit, ya? Atau sekarang aja? Ayo, kita ke kelas."

Gladys hanya diam, ia ingin melihat raut wajah Freya yang kesal karena tidak direspon. Kembali mengingat kejadian-kejadian yang telah terjadi rasanya kembali hidup setelah beberapa waktu tidak hadir di sini.

"Vin, gue gak bakalan maafin lo dan mereka kalau sampai Gladys kenapa-kenapa. Kalian itu kurang kerjaan banget main basket di siang bolong gini," kata Freya pelan, tapi masih dapat didengar jelas oleh Arvin bahkan Gladys juga mendengarnya dengan jelas.

Gladys tersenyum melihat perdebatan kecil mereka. Freya yang memiliki sifat cerewet tentu akan membuat Arvin terdiam. Cara Freya berbicara dengan tempo yang cepat tentu membuat Arvin pusing dan tidak memiliki celah untuk berbicara apalagi membantah.

Gladys mengubah posisinya menjadi duduk dan berhadapan dengan dua orang yang saling menyalahkan.

"Freya! Sifat lo gak berubah, ya. Gue kangen banget sama lo!" pekik Gladys sambil menarik tubuh Freya ke dalam pelukannya. Freya yang mendengarnya sangat terkejut, Freya sampai mencubit pipinya agar tersadar dari mimpi indahnya ini.

Arvin yang melihat tingkah aneh Freya justru menarik rambut Freya agar gadis itu tidak terlihat sangat bodoh di saat momen menyenangkan seperti ini. Tangan jahil Arvin langsung diberi hadiah oleh Freya, gadis itu mencubit pinggang Arvin sekuat tenaganya. Tangan Freya yang berukuran kecil dan terlihat indah tentu tidak sebanding dengan cubitan dan pukulan seperti ibu-ibu yang sedang memarahi anaknya.

"Dys, lo udah inget?" tanya Freya dengan nada serius. Freya melepas pelukannya dan menatap mata Gladys berharap ini semua benar-benar sesuai yang diinginkan.

-💃-

Tbc.

Miracle [Completed]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang