Bab 5

3.1K 477 72
                                    

Ada yang bilang, katanya lebih baik menunggu dari pada mengganggu. Tapi masalahnya berapa lama lagi aku mampu menunggumu di sini?

Kedua orangtua Aiz nampak aneh melihat kelakuan putranya yang sudah rapi di pagi hari seperti ini. Biasanya, meskipun dia ada kelas kuliah pagi, Aiz jarang sekali datang tepat waktu. Jikalau tidak diserbu oleh suara kencang dari perempuan muda yang menjadi tetangga depan rumahnya, mungkin Aiz akan selalu melewatkan kuliah paginya itu.

Akan tetapi apa yang dilakukan Aiz cukup berbeda. Kiki, ibu dari Aiz sampai tidak bisa berkomentar apa-apa melihat tingkah ajaib putranya. Sedangkan Wahid, sang ayah, hanya menggelengkan kepala melihat cengiran putranya yang sangat berkilau dipagi ini.

"Mau ke mana kamu?" tanya Kiki pada putranya.

Aiz mendekat. Memeluk perut ibunya, lalu tersenyum lebar. Kulit putih laki-laki itu yang sangat berkilau terkadang membuat ibunya merasa iri. Aiz memang sangat berbeda dari semuanya. Kulitnya sangat mulus. Bahkan cukup alergi jika laki-laki itu sedikit saja salah makan, atau salah memakai sabun yang tidak sesuai dengan ph kulitnya. Karena itu, Kiki, sebagai ibunya berusaha semaksimal mungkin menjaga kelebihan kulit putranya ini.

"Mau ke apartemennya mbak Syahla. Dia abis pulang dari Inggris, Bu. Aiz mau nagih oleh-olehnya."

Kiki menggeleng. Selalu saja begini, pikirnya. "Kamu tuh nagih oleh-oleh mulu. Kalau adikmu pulang juga begitu, kan?"

Aiz semakin lebar memasang senyumnya. Memang sejak setahun lalu, sejak adiknya ikut bergabung menjadi lady sky, kebiasaan yang tidak pernah absen adalah meminta oleh-oleh dari tempat adiknya itu berpergian. Padahal sebenarnya jika Aiz mau, dia bisa ke mana saja sesuai keinginannya. Tapi laki-laki itu tidak berani. Katanya semakin tinggi posisi dia berada, dia takut tidak siap untuk jatuh. Maka dari itu, ke mana pun Aiz pergi, dia lebih suka menggunakan alat transportasi darat saja.

"Hati-hati kalau gitu. Jangan ngebut-ngebut."

Aiz mengangguk. Dia mencium punggung tangan ibunya dan juga ayahnya, lalu segera bergegas menuju apartemen di mana kakak sepupunya berada.

Benarkah Syahla masih sepupunya?

***

Safira menguap lebar sembari membuka pintu apartemen dimana sejak tadi suara bell terus saja berbunyi. Saat pertama kali melihat siapa yang datang, dia tidak akan pernah merasa aneh. Karena sudah menjadi kebiasaan laki-laki muda ini mendatangi kakak perempuannya setelah selesai masa dinas.

"Mbak Syahla mana?"

"Masih tidur. Jet lag kali dia." Jawab Safira sambil meneguk segelas air putih. Pandangan matanya terus mengikuti gerak gerik Aiz yang langsung saja mencari sumber hadiahnya berada.

"Ngapain deh lo. Kayak maling pagi-pagi."

"Hehe, cari hadiah dong mbak Kafir."

"Sialan lo. Sekali lagi panggil gue Kafir, gue.... "

"Gue apa? Mau tendang gue ke langit, biar bisa gantiin matahari. Atau mau masukin gue ke mesin cuci, biar semua pakaian kotor jadi bersih karena kulit mulus gue. Hahah, bilang aja lo iri, Mbak. Tapi ngomong-ngomong kok isinya cuma pakaian kotor doang. Mana nih hadiah gue."

Aiz terus saja sibuk mengorek-ngorek isi tas Syahla yang sejak semalam hanya tergeletak di sudut ruangan. Sedangkan Syahla sendiri, sampai sekarang belum ada tanda-tanda sadar dari alam mimpinya.

"Gue bangunin deh, akh. Mana janjinya dia mau bawain gue oleh-oleh."

"Ngaco deh. Dia baru tidur." Safira menarik baju Aiz, sampai laki-laki muda itu menatapnya dengan mata menyipit.

Flying With(out) YouTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang