Bab 7

3.1K 524 181
                                    

Lihatlah, kita sebenarnya sama-sama pendosa hanya saja jalannya yang berbeda.

Akhirnya Syahla kembali ke rumah. Rumah besar dengan gaya sangat minimalis itu masih menyimpan banyak kenangan. Dia tumbuh besar di rumah ini. Dan dia juga merasakan jatuh cinta pertama kali ketika masih tinggal di sini.

Kini Syahla kembali karena permintaan ibunya saja. Setelah sekian lama tidak dia kunjungi, kemarin ibunya memberitahu jika dia sedang sakit, dan meminta Syahla unyuk mengunjunginya. Beruntung ada Safira yang mengantarkannya ke rumah hari ini. Jika tidak, mungkin dia akan tersesat untuk menemukan jalan ke rumahnya ini.

Terasa sangat berlebihan memang. Tapi kalimat itu jelas sangat mewakili sudah berapa lama Syahla tidak kembali ke rumah keluarganya sendiri.

"Yuk. Masuk." Ajak Safira.

Syahla bisa melihat ada mobil ayahnya terparkir rapi disalah satu garasi rumahnya. Beberapa motor antik koleksi ayahnya juga ada. Serta mobil-mobil antik dari bengkel mobil yang dimiliki ayahnya juga berada di dalam garasi lainnya.

Rumah kedua orang tua Syahla memang dibangun di atas tanah yang cukup luas. Dengan arsitektur sendiri, rumah minimalis ini memiliki dua garasi mobil. Sedangkan rumah utama berada di tengah-tengah dua garasi tersebut.

"Mbak. Ayolah." Ajak Safira sekali lagi.

Syahla mengangguk. Dia memperbaiki letak tali tas di bahunya, kemudian berjalan masuk ke dalam rumah tersebut.

Ketika kakinya masuk ke dalam, seorang bibi menyambutnya dengan hangat. "Non Syahla akhirnya pulang. Bibi buatin makanan dulu ya. Jangan pergi buru-buru."

"Iya, Bi. Terima kasih."

Dia masih tersenyum melihat keceriaan di wajah bibi itu. Memang sudah cukup lama perempuan paruh baya itu mengabdi kepada ibunya. Dan dia tahu, betapa tulusnya bibi itu merawat dirinya dan adik-adiknya di masa kecil dulu.

"Mbak langsung ke atas aja deh. Mami pasti di kamarnya."

"Daddy di mana ya, Fir?"

"Daddy di mushola belakang. Pasti lagi doain Mbak." Goda Safira yang memilih untuk pergi ke dapur. Dia sengaja membiarkan Syahla sendirian. Dan memberikan waktu untuk kakak perempuannya itu bertemu ibu mereka.

"Huh." Satu tarikan napas lolos dari bibirnya. Syahla akhirnya melangkah ke lantai atas, di mana kamar ibunya berada.

Masih harap-harap cemas, dia terus memikirkan kalimat apa yang dikatakan ibunya. Karena jujur saja cukup lama dia tidak bertemu dengan ibunya. Hampir beberapa bulan ini mereka tidak bertemu. Alasan terbesarnya Syahla sulit ditemui, karena jadwal terbangnya yang padat. Kadang video call yang hanya bisa mendekatkan mereka atau menunda rasa rindu yang terus menyerang keduanya.

"Mami.... " Syahla memanggilnya.

Dia membuka pintu kamar itu, menemukan ibunya sedang tertidur di atas ranjang. Wajah pucat ibunya membuatnya langsung menangis.

Syahla naik ke atas ranjang. Memeluk tubuh ibunya sambil menangis.

"Mami, maafin Syahla. Maafin Syahla yang baru bisa datang ke sini."

Rara seketika membuka matanya. Dia kaget sekali ketika mendengar tangisan dan pelukan erat dari putrinya. Tanpa bisa dicegah, sudut bibirnya tertarik tinggi. Tangannya perlahan mengusap lembut kepala Syahla. Rambut putrinya itu yang berwarna pirang, karena diwarnai, membuat senyumannya luntur. Dia tahu, inilah tanggung jawabnya sebagai orang tua untuk membantu memperbaiki jalan yang dipilih oleh anak-anaknya.

Akan tetapi masalahnya, sudah berbagai cara dia lakukan agar bisa dicontoh oleh anaknya sendiri, namun nyatanya dia masih kesulitan. Sampai detik ini sepertinya belum ada niatan dari Syahla untuk memperbaiki diri seperti perempuan muslimah lainnya.

Flying With(out) YouTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang