Cintailah aku sesederhana yang kamu mampu. Karena terkadang cinta lebih banyak membawa derita dibandingkan bahagia.
Pagi ini Abi dipaksa ayahnya untuk ikut datang ke kantor. Alasannya simple, Barra mengatakan pada putranya itu, kamu akan menjalani pekerjaan warisan ini dengan ikhlas jika kamu sudah mengenal seluk beluknya.
Maksud Barra begini, ia ingin Abi melihat perusahaan yang selama ini dia bantu jalankan dari dekat. Karena keputusan yang akan Abi buat bukan hanya berpengaruh pada hidupnya dan keluarganya. Namun lebih banyak kepada para karyawan yang sudah sekian tahun bekerja di sana.
Apalagi Barra sangat yakin, jika cinta itu akan tumbuh karena terbiasa. Jika Abi terbiasa datang ke kantor, berkenalan dengan orang-orangnya, pasti akan muncul perasaan cinta atau ingin melindungi agar orang-orang tersebut tidak kecewa.
Akan tetapi masalahnya, apa Abi punya perasaan itu? Secara baru hari kemarin dia membuat Syahla terluka atas kediamannya. Lalu apakah Barra tidak salah berharap lebih pada Abi?
"Kamu siap?" kata Barra pada putranya itu sebelum mereka turun di lobby perusahaan.
Sesungguhnya Barra jarang sekali datang ke kantor ini. Semuanya yang bisa dia kerjakan dari rumah akan dia maksimalkan di rumah. Sehingga Putri kecilnya Alula Farzana tidak merasa kehilangan dirinya, seperti Abi dulu. Setelah putri kecilnya pernah mengalami sakit yang cukup lama ketika berusia 1 tahun, Barra benar-benar langsung memutuskan untuk mengurangi aktivitas lainnya di luar rumah.
"Hm." Gumam Abi sambil merapikan pakaiannya. Dia juga tidak ingin tampil mengecewakan untuk pertama kalinya di depan para karyawan.
Walau Abi hanya memakai kemeja sederhana miliknya, namun sebisa mungkin dia akan tampil rapi. Maklum, masih banyak manusia yang menilai manusia lain dari tampilan luarnya saja. Karena itulah Abi mencoba waspada. Walau mungkin pada akhirnya dia tidak akan melanjutkan tongkat estafet ini. Tapi setidaknya dia tidak membuat malu keluarganya.
Masa lulusan luar negeri tapi penampilan sama sekali tidak terurus.
Menjadi lulusan terbaik di salah satu kampus terbaik di Jepang dengan jurusan global political economy, Abi memang sangat diharapkan bisa memberikan dampak baik untuk kedua perusahaan yang diwariskan oleh kakeknya.
Ketika mereka sampai di lobby kantor besar ini, dua orang security menunduk hormat kepada mereka. Sampai ketika Barra dan Abi akan naik ke dalam lift pun, tidak henti-hentinya semua orang memandang mereka.
"Jangan pikirkan apa yang mereka katakan. Dulu ayah juga merasakan seperti itu. Lulusan sastra disuruh menjalankan perusahaan. Tapi semuanya bisa terbukti sampai saat ini. Ayah ingin kamu seperti itu juga. Karena dengarkan kata orang hanya akan membuat dirimu lelah saja." Kata Barra sebelum lift yang mereka naiki sampai ke lantai di mana ruangan Barra berada.
Saat mereka keluar lift, dan berjalan di lorong kubikel di mana para karyawan lain bekerja, semua yang melihat rata-rata menunduk hormat. Mereka melakukannya terlihat seperti takut. Takut jika tidak hormat, maka gaji mereka tidak dibayar.
"Tunggu, Yah." Kata Abi.
Dia bergerak kembali ke salah satu karyawan yang memang terlihat sangat gugup. Ketika Abi mendekatinya, tiba-tiba saja dia langsung berdiri. Tangannya gemetar sambil membenarkan letak kaca matanya.
Ditatap sangat dekat dari salah satu penerus utama perusahaan ini membuatnya takut.
"Kamu bagian apa?" tanya Abi tenang.
"Saya... saya, tim bisnis manajemen, Pak."
Wajahnya yang masih muda, berhasil menarik perhatian Abi. Dia tahu semua orang akan segan berdekatan dengannya. Namun jika dia sudah menunjukkan bagaimana caranya menjalin komunikasi dengan satu karyawan, mungkin perlahan penilaian karyawan lain akan berubah.
KAMU SEDANG MEMBACA
Flying With(out) You
EspiritualTabu. Kata itu yang akan muncul ketika masyarakat mendengar ada seorang perempuan yang menyerahkan dirinya kepada seorang laki-laki untuk dinikahi. Padahal sudah sejak zaman Nabi Muhammad dulu, hal ini pernah terjadi, atau bahkan sering terjadi pada...