0.2 : EVERYTHING HAS CHANGED [1]

3.9K 430 0
                                    

16 TAHUN KEMUDIAN...

Di dalam sebuah kamar luas nan megah terdapat seorang gadis cantik sedang tertidur pulas padahal sang mentari telah menampakan cahayanya. Gadis itu sama sekali tidak terusik dengan cahaya matahari yang masuk melalui celah-celah jendela.

Namun entah karena sesuatu atau pikirannya memang telah sadar, ia bangun kemudian ia menguap. Dia memandangi sekelilingnya, masih kamarnya.

"Bukan tempat indah seperti dalam mimpi tadi...," gumam putri Lalice.

Meskipun begitu, ia masih memikirkan kejadian yang ada dalam mimpinya. Terasa seperti sangat nyata. Senyuman itu, genggaman tangan yang lembut, serta dekapan hangatnya seakan menutupi tubuh putri Lalice dari dinginnya suasana akibat hujan.

Putri Lalice masih ingat betul dengan mimpinya, kejadiannya sekitar--tunggu putri Lalice mendadak menatap ke arah jendela, tirainya masih belum dibuka lebar. Akhirnya ia memutuskan untuk membukanya secara kasar dan tergesa-gesa.

Pagi hari...

"Dimimpi itu aku bertemu dengannya sekitar tengah hari. Tapi, apakah itu sungguh mimpi belaka?" monolog putri Lalice sambil terus mengingat kejadian yang disebut sebagai mimpi oleh dirinya.

"Jika saja itu bukan mimpi, aku ingin mengenalnya, mengenalnya lebih jauh lagi. Hah, aku bahkan tidak tau namanya, oh bodohnya diriku ini!"

"Kenapa anda berpikir seperti itu, putri Lalice?" tanya bibi Sandara, membuat putri Lalice terkejut.

Lantas putri Lalice membenarkan tubuhnya yang cukup berantakan, maklum ia baru saja terbangun. Dalam berbagai kondisi pun putri Lalice selalu saja terlihat cantik, ah bagaikan bidadari dari surga.

"Bibi, aku kan sudah bilang, jika hanya ada kita berdua bibi tidak perlu memanggil ku dengan embel-embel putri. Aku tidak suka," ujar putri Lalice sambil terlihat merengek. Namun rengekan tersebut tampak lucu dimata bibi Sandara, ia hanya mengangguk-anggukan kepalanya saja.

"Ah maaf bibi lupa, mungkin karena usia bibi sudah semakin menua. Tunggu, kanapa Lalice berpikir jika dirimu itu bodoh, hm?" Pertanyaan selidik dari bibi Sandara membuat putri Lalice gelagapan. Tidak mungkin 'kan jika putri Lalice menceritakan tentang mimpinya? Yang ada dia malah ditertawai karena terlalu percaya pada mimpi.

Ia menepis segala pikiran buruk, dan dengan berat hati dia berbohong kepada pengasuhnya sejak bayi. "Aku tidak bermaksud seperti itu, aku hanya merasa tidak berguna karena aku membebani bibi." Baiklah putri Lalice tidak berbicara dengan terpatah-patah, padahal ini adalah pertama kalinya ia berbohong.

Kalian pasti tau, jika sudah ada satu kebohongan, pasti akan ada selanjutnya.

"Sudahlah jangan berpikir seperti itu lagi, ya? Bibi tidak pernah merasa dibebani oleh mu, nak. Justru aku sangat bahagia bisa merawat mu layaknya putri ku sendiri. Jika kamu merasa membebani diriku, aku akan sedih...."

"Tidak-tidak! Aku janji tidak akan berpikir seperti itu lagi," sergah putri Lalice, tidak lupa dia meruntuki dirinya sendiri yang asal bicara.

Bibi Sandara--pengasuh putri Lalice sejak kecil--menatap majikannya dengan penuh perhatian serta irisnya menyiratkan bahwa ia senang melihat putri Lalice dapat mengekspresikan setiap emosinya dengan cukup baik.

Awalnya bibi Sandara merasa kasihan dengan putri ke-empat itu karena dia mendapat perlakuan yang berbeda, namun seiring berjalannya waktu, rasa simpati itu telah berubah menjadi kasih sayang yang tulus.

"Mandilah, Yang Mulia ratu sudah menunggu Lalice sedari tadi," seru bibi Sandara masih dengan senyuman indahnya.

Wajah putri Lalice berubah menjadi muram, ia tampak tidak menyukai apa yang dikatakan oleh bibi Sandara. "Untuk apa Ibunda menunggu ku? Bertemu dengan ku saja dia tidak sudi, huh."

Who Will Be The Queen? (End)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang