0.7 : A NIGHTMARE

3.1K 360 15
                                    

Plak!

"Berani sekali kamu! Kamu iri dengan kami, kan?! Iya kan?!"

Putri Lalice terus menggelengkan kepalanya. Dia tidak bisa berkata apapun lagi, karena percuma saja dia berkata jujur. Memang siapa yang akan percaya?

"Aku memiliki gaun baru dan kamu tidak, karena itu kau sengaja menumpahkan jus ini, 'kan?!"

Mata putri Lalice dipenuhi dengan air matanya, gadis itu tidak tau harus melakukan apalagi selain menangis. Ingin mengeluarkan suara-pun tidak ada gunanya. Jelas saja suaranya akan kalah keras bila dihadapkan dengan ketiga kakaknya.

Dan diantara mereka bertiga, putri Lalice paling tidak nyaman bersama dengan putri Roséanne. Dia tidak bilang jika dia membenci putri Roséanne, gadis itu hanya memiliki ketakutan tersendiri setiap kali berpapasan dengan kakak ketiganya.

Sebab hanya Roséanne saja yang akan langsung menghabisi Lalice, entah dengan perkataanya maupun perbuatannya.

"Menangis tidak akan membuat ku berhenti! Seharusnya kau sadar diri jika kau itu tidak diinginkan! Kenapa kau masih saja mencoba mendapatkan cinta semua orang?!" hardik putri Roséanne.

Aku juga tidak ingin dilahirkan disini jika aku tau...

Dia terus-menerus memaki putri Lalice yang tengah terduduk lemas dihadapannya. Putri Roséanne tidak memiliki belas kasih sedikitpun kepada Lalice, dan tanpa berpikir dua kali...

Putri Roséanne menyerang putri Lalice dengan bruntal. Dia menggunakan elemen cahaya miliknya untuk menggoreskan setiap luka ditubuh Lalice. Cahaya terang terus menutupi tubuh putri Lalice, mengurungnya---ah tidak lebih tepatnya menyakiti putri Lalice agar gadis itu tidak kabur.

Roséanne lupa, memang apa yang bisa Lalice perbuat? Untuk apa dia takut kabur, dia hanya gadis lemah yang tidak berelemen.

Gadis yang baru berusia 10 tahun tersebut sangat memilukan. Menangis terus tidak akan membantu apa-apa. Melawan pun tidak ada gunanya. Ingin menentang? Untuk apa? Nantinya dia lagi yang akan disalahkan.

Sudah menjadi kehendak alam bila yang kuat akan bertahan dan yang lemah dapat ditindas kapanpun kau mau.

Putri Jisoo dan putri Jennie yang menyaksikan perbuatan adik mereka hanya diam. Tidak tertawa, tidak tersenyum jahat, tidak ingin ikut campur, dan tidak berniat menolong.

Tetapi, keterdiaman putri Jisoo bukan karena tidak peduli, justru kakak tertua mereka merasa sedikit kasihan. Meski dia tahu, tidak seharusnya dia memiliki belas kasih kepada seseorang yang telah membuat ayahnya pergi.

"Apakah sakit?" tanya putri Roséanne.

Dia bertanya bukan bermaksud menyudahi permainannya, malah dia akan menambah keseruannya. "Lalice, kau tau, aku sangat jarang memainkan pedang suci ku ini... aku tidak diperbolehkan memainkannya jika tidak dalam kondisi kritis. Tapi kurasa, mencobanya pada mu juga tidak masalah, 'kan?" ucap putri ketiga sambil tersenyum penuh kegemiraan.

Mendengar kata-kata seperti itu, menjadikan tubuh putri Lalice semakin bergetar hebat. Kedua lengan tangan hingga wajahnya sudah dihiasi berbagai sayatan indah oleh putri Roséanne.

Setiap darah segarnya mengalir menodai kulit mulusnya. Bau anyir darah begitu pekat, Lalice merintih kesakitan. Namun Roséanne menyukai permainan ini. Dia suka, sangat suka.

Hanya putri Roséanne saja yang bisa melihat keadaan miris putri Lalice. Kedua kakaknya tidak dapat melihat karena pedang sucinya telah diaktifkan.

Who Will Be The Queen? (End)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang