1.5 : DARKEN [2]

2.6K 277 100
                                    


"Lalice..." Panggilan dari Darken menghentikan aktivitasnya yang tengah sibuk bermain air. Rupanya gadis itu tengah membersihkan diri sebab tadi ia tak sengaja jatuh tersandung.

"Iya?" Lalice berjalan menuju Darken setelah dipastikan bahwa tungkainya telah bersih. Dengan senyuman manis seperti biasanya, ia berdiri tepat dihadapan Darken. Wajahnya menatap lekat sorot mata Darken, tajam. Lalice hanya diam sambil sesekali tersenyum lagi.

"Aku ingin bertanya...,"

Gadis itu menaikan salah satu alisnya. Kemudian membalas dengan riang, "katakan saja."

Lumayan sulit bagi Darken untuk mengeluarkan kata-kata yang terhenti didalam mulutnya. Takut jika Lalice tidak menerima atau dia akan marah. Tapi, dia harus mengatakan semuanya sebelum bencana itu hadir cepat atau lambat. "Bisakah... kau berjanji pada-ku?" Ia bertanya dengan hati-hati.

Dia tampak berpikir sebelum akhirnya ia membalas dengan satu anggukan pasti. "Tentu. Apapun akan aku lakukan untuk mu."

Mendengarnya, membuat hati Darken merasa lebih tenang. Sungguh baik sekali karena Tuhan telah mempertemukan mereka secara sengaja. Lantas, sebuah senyuman indah hadir pada wajah yang masih setia tertutup topeng. Dia mengelus pelan pipi kiri Lalice seraya mulutnya berkata, "Aku sadar. Ternyata aku sudah tidak membutuhkan apapun lagi didunia ini."

Lalice memperhatikan dengan seksama, sepertinya ada yang tidak beres dengan hari ini. Nyalang mata gadis itu menajam, makin menambah kecantikannya. Walaupun saat ini ia terkesan tegas.

"Yang aku butuhkan hanyalah kehadiran mu. Mungkin ini terlalu abstrak, kadang aku berpikir begitu. Pertama kala kita bertemu, aku tidak pernah berpikir bahwa hati ini menginginkan setiap senyum mu, mata indah mu, serta menghapus kesedihan mu. Rasanya, cukup sakit ketika aku mendengar dirimu yang selalu bergumam tentang keluarga mu kala malam hari tiba. Kau selalu menyembunyikan kesedihan mu dengan cara yang buruk. Kau tidak pandai membohongi perasaan mu sendiri.

Nyatanya kau membutuhkan seseorang sebagai tempat mu berteduh. Tempat mu bercerita serta tempat dimana kebahagiaan yang sesungguhnya hadir. Karena itu, bolehkan aku menjadi tempat mu berteduh?"

Matanya mengerjap beberapa kali ditambah wajah bingungnya datang, menambah kecantikannya secara natural. Mulutnya hampir terbuka namun masih dengan wajah bak orang bodoh. Sebelum benar-benar berucap, Darken menyahut terlebih dahulu.

"Kau tidak harus menjawab sekarang, ku rasa kau memerlukan waktu," lanjut Darken.

Lalice tersenyum kikuk. Dia memutuskan kontak matanya segera setelah menatap Darken dalam kurun waktu lama. Mengalihkan pandangannya menuju rerumputan liar. Pikirannya tengah beradu, tak tau harus berlaku apa. Terlalu tiba-tiba, pikirnya.

"Tapi Lalice," dia menjeda kalimatnya, berharap Lalice menghadap dirinya lagi. Namun agaknya, gadis itu hanya akan mendengarkan, enggan menatap. Tak apa. Hingga hembusan napas kasar terdengar dirunggu Lalice. Itu berasal dari Darken--bersiap melanjutkan kalimatnya.

"Tolong ingat perkataan ku, apapun yang terjadi nanti, aku harap kau tidak mudah mempercayai perkataan orang lain. Karena bisa saja mereka hanya berniat memanfaatkan keistimewaan mu, ku harap kau mengingat ini."

Alisnya mengerut, tatapan matanya seolah bertanya 'mengapa?'

"Tidak semua yang terlihat bagus itu selalu bagus. Juga, jangan terlalu percaya pada seseorang melebihi diri mu sendiri. Dia, akan datang. Merampas kembali apa yang menjadi miliknya meski aku telah berusaha mengubah takdir."

Lalice semakin dibuat keheranan. Kini ia sudah menatap Darken kembali, penuh penasaran.

"Ingatlah, bahwa dia hanya memanfaatkan kelebihan mu. Suatu saat kau akan mengerti semua ini. Jadi, jangan mau menjadi tangan kanannya, ya?" Lalice tak bergeming. Dia diam mematung, Darken menjadi gemas sendiri ketika dia tau suasananya menjadi sedikit canggung. "Baiklah, mari kita membicarakan topik lain," ajaknya.

Who Will Be The Queen? (End)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang