9

850 138 2
                                    

***

Seorang wanita paruh baya baru saja menampar pipi putra satu-satunya. Di depan suaminya, nyonya Kwon baru saja menampar pipi Jiyong. Wanita itu marah, amat sangat marah karena putranya baru saja bilang kalau ia sudah menyerahkan surat pengunduran dirinya. Ya, Kwon Jiyong baru saja pulang ke rumahnya, dalam keadaan lelah dan suntuk ia lantas mengatakan pada seluruh keluarganya kalau ia sudah mengundurkan diri. Sedikit berbohong memang, namun reaksi ibunya ternyata sama persis dengan bayangannya saat pulang tadi.

"Kenapa kau berhenti tanpa persetujuanku?!" marah sang ibu. "Aku sudah melakukan segalanya agar kau bisa jadi dokter! Aku sudah memberikan segalanya untukmu! Kenapa kau mengkhianatiku seperti ini, Kwon Jiyong?!" seru wanita itu, sedang semua orang disana– tuan Kwon, kakak perempuan Jiyong dan Jiyong– hanya diam, menghindari tatapan satu sama lain.

"Tidak, ini tidak boleh terjadi," tutur wanita paruh baya itu. "Ku tidak boleh berhenti, kalau kau pergi sekarang, kau bisa mengambil kembali surat pengunduran dirimu. Ayo ke rumah sakit, kita bicara pada atasanmu, katakan kalau kau mabuk dan-"

"Bukan ini hidup yang ku inginkan," potong Jiyong, tanpa meninggikan suaranya. Pria itu masih tetap tenang bahkan saat ibunya hampir meledak disana. "Kalau eomma bahagia, ku pikir aku juga akan bahagia. Saat aku dewasa, ku pikir aku akan bahagia, seperti tokoh dalam drama. Tapi ternyata tidak begitu,"

"Apa maksudmu?" sinis nyonya Kwon, tentu tersinggung karena ucapan putranya itu. "Kau ingin bilang kalau selama ini aku menyiksamu? Inikah balasanmu-"

"Hari ini Nara dilarikan di UGD," potong Jiyong, sembari menatap satu persatu wajah yang ada di ruang tengah rumahnya.

Tidak ada yang berkomentar disana, tuan Kwon yang seorang pegawai negeri hanya duduk di sofa, memperhatikan istri dan anak bungsunya yang sedang adu argumen. Di ujung tangga, Kwon Dami yang seorang Jaksa berdiri. Wajah Dami memerah, terlihat lelah dan sedih sekaligus. Pertengkaran ini bukan kali pertama bagi mereka, Jiyong sudah sering sekali mengatakan kalau ia ingin berhenti bekerja– namun baru malam ini ia mengatakan kalau ia sudah mengirimkan surat pengunduran dirinya. Pada akhirnya, Jiyong menyerah mewujudkan mimpi ibunya– pikir ayah juga kakak perempuan Jiyong.

"Eomma tahu apa yang kupikirkan saat dia terbaring di atas ranjang? Ah... Dia sudah kena ganjarannya, ku harap aku bisa melihatnya mati disana. Sama sekali tidak ada pikiran untuk menyelamatkannya. Bahkan saat jantungnya tiba-tiba berhenti, aku tidak ingin menyentuh-"

Jiyong mendapatkan tamparan keduanya. Sang ibu mulai menangis dan Dami mendekat. Kwon Dami merengkuh ibunya, hendak melerai pertengkaran itu.

"Bagaimana bisa seorang dokter mengatakan hal mengerikan seperti itu?" geram sang ibu, yang menolak rengkuhan Dami kemudian menarik kerah kemeja Jiyong. "Kau seorang dok-"

"Karenamu, eomma! Semuanya karenamu! Karenamu membayarnya untuk membuatku bertahan, aku jadi benar-benar membencinya!" potong Jiyong, meneriaki ibunya di depan wajah wanita paruh baya itu.

Singkat cerita, Jiyong pergi dari rumahnya malam itu. Setelah muak berdebat di rumah, pria itu pergi tanpa membawa apapun dari rumahnya– hanya dompet dan handphone yang kebetulan ada di saku celananya.

Setelah pergi dari rumahnya malam itu, Jiyong duduk di halte dekat rumahnya, menunggu bus yang mungkin akan lewat beberapa menit lagi. Malam terasa sangat dingin sekarang, terlebih karena Jiyong tidak lagi punya tempat yang dituju.

Bus datang, dan dengan lesu Jiyong masuk ke dalam bus itu. Ia duduk di deretan kursi paling belakang, menatap sekeliling bus kemudian tersenyum saat melihat sekelompok siswa sekolah naik ke atas bus itu. Ia mengingat masa lalunya. Jiyong bisa menebak kalau bocah-bocah itu kini sudah menginjak kelas dua belas, mereka seharusnya sedang berada di asrama atau rumah masing-masing tengah malam ini. Belajar, bersiap untuk ujian seleksi perguruan tinggi.

Jiyong jadi ingat masa mudanya, yang tidak khawatir pada apapun. Tidak khawatir akan melupakan sesuatu. Ia hanya tahu caranya bermimpi– dulu, sebelum ibunya mulai memaksanya untuk berusaha meraih mimpi ibunya. Jiyong merindukan hari-hari indah itu.

Jiyong merindukan buku catatan usangnya, ransel yang sering ia lempar, sepatu kotornya. Dulu, si bocah yang sedang bermimpi, menulis di meja, bertanya-tanya apa saat dewasa nanti ia bisa tetap tersenyum? Jiyong ingin kembali waktu itu.

"Nomor yang anda hubungi sedang berada di luar jangkauan," dalam sepuluh menit terakhir ini, sudah lima kali Jiyong mendengar suara nona operator telepon itu. Temannya Hyunseung pasti sedang sibuk jaga malam saat ini. Temannya Choi Seunghyun mungkin sedang tidur di rumahnya setelah sibuk mengurus sidang-sidang perceraian. Kalau Lee Seungri pasti sedang melakukan perjalan bisnis. Kemudian Dong Yongbae sibuk merawat bayinya yang baru lahir. Yang terakhir Kang Daesung, yang pasti sedang lelah setelah melucu selama dua jam di sebuah acara TV. Kalau Jiyong ingat-ingat lagi, ia dan teman-temannya, tidak satu pun dari mereka yang berhasil mewujudkan mimpinya.

"Hyung, kau sudah tidur?" tanya Jiyong, begitu Kyungho bertanya alasan ia menghubunginya. Saat itu sudah pukul satu malam, dan setelah berkeliling dengan bus, Jiyong akhirnya turun di salah satu halte– entah dimana– dan menelepon dr. Jung.

"Sudah," bohong Kyungho. "Ada apa? Kau ingin mengambil kembali surat pengunduran dirimu?"

"Tidak," jawab Jiyong. "Aku benar-benar ingin berhenti, setelah apa yang terjadi tadi, pada dr. Kwon, aku rasa aku tidak bisa lagi mewujudkan mimpi eommaku,"

"Dimana kau sekarang?" tanya Kyungho. "Ya! Pulang saja, sialan, kenapa kau berkeliaran dengan suasana hati seperti itu? Kau hanya akan mengganggu orang lain,"

"Tsk... Kau sangat kejam, hyung," komentar Jiyong, ia terkekeh getir dalam teleponnya. "Aku tidak bisa pulang sekarang, eommaku sedang sangat marah. Mungkin dia akan datang ke rumah sakit besok pagi,"

Kyungho lantas menyuruh Jiyong untuk pergi menginap di rumah teman-temannya, namun Jiyong justru berkata kalau ia tidak punya teman malam ini. "Apa kau selalu punya teman, hyung?"

"Kalau begitu pergi ke hotel," singkat Kyungho membuat Jiyong lantas terkekeh. Tentu saja Kyungho punya teman, bahkan dengan peringainya yang menyebalkan itu, ada empat profesor lain yang dekat dengannya, yang mungkin akan selalu ada untuknya. "Saat kau tidak punya teman, bertemanlah dengan dirimu sendiri, pergilah ke hotel terdekat, beristirahat disana lalu temui aku besok," tambah Kyungho yang hanya Jiyong iyakan. Tapi di saat panggilan itu berakhir, Jiyong mendapatkan sebuah pesan di handphonenya, dari Lisa. Pesannya berisi sebuah peta menuju ke suatu tempat yang rasanya belum pernah Jiyong datangi.

"Kalau oppa butuh teman, aku ada disana," tulis Lisa dibawah peta lokasi yang ia kirimkan.

***

Band AidTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang