Langit sudah diselimuti awan gelap sejak mentari menyudahi petualangannya di belahan bumi yang gadis itu pijak. Hingga hawa dingin yang berembus menyadarkannya sekali lagi, bahwa arah angin tak lagi sama seperti dulu. Menyadarkannya, kalau bumi yang ia pijak tak lagi bersahaja seperti dulu. Menyadarkannya pula, bahwa masa kecilnya yang ceria, pernah sehancur itu.
Dia Dinda, gadis cerdas yang diklaim bodoh oleh sebagian banyak orang.
Bodoh karena sikapnya yang kekanakan.
Bodoh karena sikapnya yang labil
Dan masih banyak kebodohan-kebodohan lain yang dilabelkan secara subjektif pada dirinya.
Buktinya, sekarang ini.
"We've been here for two weeks. Masih belum mau pulang juga?"
Nita yang sedari tadi berdiri di samping gadis itu mulai buka suara. Dia bukannya setengah-setengah ingin menemani. Lagi pula, sedari awal Dinda pergi sendiri dan dirinya dan yang lain yang berkeinginan untuk menyusul. Hanya saja, ini terlalu lama. Dirinya belum menyandang gelar anak sultan kalau mau liburan lama-lama. Meskipun hanya sementara, tinggal di kota orang juga butuh biaya.
"Gusti... gue ngomong sama lo, Din? Tolong lah dijawab," desak Nita lagi, agaknya kesal karena terus diabaikan sedari tadi. Atau bahkan, sudah berhari-hari yang lalu
"Nggak ada yang minta lo ke sini juga." Balas Dinda tidak peduli, kemudian sok sibuk menatap deburan ombak yang terlihat samar-samar dari balkon kamarnya.
Bukan mencelos lagi, Nita sampai ingin menangis saking dongkolnya dengan gadis satu ini.
Nita tahu jika Dinda memang spesies manusia yang terlalu menyebalkan. Hanya saja, ini keterlaluan sekali. Sudah 2 minggu sahabatnya ini kabur seperti pengecut hanya karena melihat kakaknya berpelakukan dengan perempuan lain.
What the? Bukan kah itu kekanak-kanakan sekali? Dia punya mulut untuk bertanya dan otak untuk menyelesaikannya baik-baik.
"Astaga, Din, tega bener sama kita-kita. Kita-kita sampai nyusulin lo ke sini karena takut lo kenapa-napa. Kalau nggak peduli mah, nggak bakalan tuh, kita jauh-jauh susulin ke sini. Hargai dikit lah," pinta Nita lagi, meminta pengertian sang sahabat.
Hanya saja, Dinda tetaplah Dinda.
Gadis keras kepala itu hanya tersenyum semu, lantas melewati Nita begitu saja, masuk ke dalam kamarnya. "Nggak ada yang minta kalian sok tau dengan datang ke sini juga. Pulang aja," usirnya dingin.
"Ya Allah... susah ya ngomong sama lo, makan ati."
Meski bergumam dengan kekecewaan teramat dalam, Nita tetap mengikuti Dinda yang masuk lebih dalam.
Sayangnya, langkah kaki Nita harus terhenti di tengah jalan tatkala menyadari Dinda berhenti di pertengahan ruang—jalannya dipotong sosok lelaki tinggi besar.
"Kak Aldi," cicit Nita tanpa sadar—selaras pula dengan rasa takutnya yang naik dari 60% jadi 78%. Ada ringisan sebagai tanda permohonan maaf, setelahnya melipir sejauh-jauhnya.
"Pulang!" kata Aldi pelan tapi begitu menusuk saat hanya ada mereka berdua. Dinda yang enggan menanggapi, memilih berbalik dan pura-pura menyibukkan diri. Sedangkan Aldi tidak akan berhenti sebelum mendapat balasannya. "Kakak bicara sama kamu?"
"I've been listening," balas Dinda tak peduli, mencoba menyibukkan diri dengan melakukan apapun itu—asalkan tidak melihat ke arah kakaknya.
"Kamu pikir keren dengan kabur kayak gini?" Aldi berjalan mendekat, mencoba menggapai sang adik. "I know you live your life. But you are not a child anymore, Dinda. Kamu nggak bisa terus-terusan pergi dari rumah tiap kali kamu marah. Tuhan kasih kamu otak supaya bisa digunain untuk berpikir. Kamu mahasiswa, orang terpelajar. Kamu tahu kalau lari dari masalah itu nggak baik, terus kenapa tetep dilakuin?" tanyanya pelan seperti biasa.
KAMU SEDANG MEMBACA
Human Disease
RomanceMenjadi dalang kehancuran keluarganya sendiri bukanlah keinginan Dinda. Perempuan itu tak pernah tahu kalau hidupnya akan sehancur ini. ______ They said, it is a broken life story. So what would you do with this story? Keep reading or finish here...