Trigger Warning
Self harm
***
Di balik keterdiaman Aldi selama ini, ada rasa sakit tak kasat mata yang selalu lelaki itu emban ke mana-mana. Bahkan hingga saat ini pun, dia tak berani mengatakan yang sebenarnya kepada orang lain.
Perempuan yang sedari tadi duduk di samping Aldi pun, hanya bisa mengembuskan napas berkali-kali saat mendapati lelaki itu terlarut dalam lamunannya sendiri. Lalu, untuk apa dia di sana kalau orang di sampingnya jelas-jelas memikirkan orang lain?
"Kak?" panggilnya lemah.
"Ah, iya?" Aldi tersentak. "Kenapa?"
"Kakak kenapa?"
"Nggak papa." katanya tersenyum.
Perempuan itu menghela napas berat sekali lagi. Dia tahu, sampai kapanpun, dirinya tidak akan pernah menjadi prioritas semua orang. Bahkan, Aldi sekalipun. "Tadi aku ketemu orang. Dia ngeliat aku kayak ngeliat setan." cerita Rara.
"Oh ya?"
Dia tiba-tiba berdiri. "Aku balik ke Bandung aja. Aku nggak ada gunanya di sini."
"Kamu ngomong apa, sih, Ra?! Tadi kita bicara baik-baik lhoh! Kenapa endingnya jadi gini?" kata Aldi tak suka.
"..."
"Mending tidur, udah malam. Besok kita periksa ke dokter lagi." kata Aldi seraya mencium puncak kepala perempuan itu sayang. Dia bergegas bangkit dan berjalan keluar rumah. Berharap perempuan yang tak lain adalah Rara ini reda sendiri.
"Buat apa? Nggak akan bertahan juga, kan?"
Aldi terdiam di tempat dengan mata yang terpejam rapat. Dia benci setiap kali Rara mengatakan kalimat seperti itu. Aldi yang kalut berbalik dan kembali menghampiri Rara yang duduk di sopa. Dia mencoba meraih tangan Rara tapi Rara menarik tangannya cepat.
"Ra, please! Don't make everything get worse!" lirihnya.
"Aku mau pulang. Kenapa nggak boleh?" Rara berdiri, dia menggeleng lemah ke arah Aldi. "Dari awal harusnya aku nggak ke sini, Kak. Tempatku bukan di sini."
"Nggak! Ra! Rara dengerin dulu!" Aldi mencoba meraih tangan Rara tapi Rara tetap menghindar.
Tak mau kehilangan lagi, Aldi berlari, mengejar Rara yang mungkin saja masih ada di sekitar sana. Tapi yang dia lihat adalah pemandangan menyesakkan dada. Perempuan itu jatuh pingsan, di depan rumahnya.
***
Riza berkacak pinggang dan menengadah dengan mata terpejam rapat. Karena khawatir perkataan jahatnya sampai melukai orang lain, Riza memutuskan untuk keluar sebentar. Dia akan meminta Sania atau siapapun untuk menemani Dinda.
Sementara Dinda sendiri langsung berjalan lunglai menuju kamar mandi.
Tubuhnya yang ringkih memeluk tubuhnya sendiri, meringkuk di sudut bath up yang tak terisi air. Tangisan anak kecil minta dilepaskan memenuhi otaknya. Dia sakit. Sangat sakit.
Dengan langkah ketakutan, Dinda berdiri gemetaran untuk mengambil apapun yang ada di sana untuk dirinya sendiri. Hanya kaca, dan itulah masalahnya. Dia selalu melihat iblis kecil di dalam sana.
Tak tahu lagi, Dinda meninju kaca itu dengan tangan telanjang. Dia tak merasa sakit sama sekali saat tangannya berdarah tertancap pecahan kaca yang sekarang jatuh dan memenuni wastafel. Rasanya begitu menyenangkan. Dinda suka sensasi rasa sakit itu
Cukup satu saja di genggaman, Dinda langsung lari terbirit dan kembali duduk memeluk dirinya sendiri di pojokan. Bibir mungilnya terbuka, hanya gumaman tak jelas yang keluar. Tangan kirinya masih erat menggenggam kaca sampai ikut tergores pula.
KAMU SEDANG MEMBACA
Human Disease
RomanceMenjadi dalang kehancuran keluarganya sendiri bukanlah keinginan Dinda. Perempuan itu tak pernah tahu kalau hidupnya akan sehancur ini. ______ They said, it is a broken life story. So what would you do with this story? Keep reading or finish here...