Epilogue

2.8K 72 10
                                    

Dua tahun kemudian setelah kematian Mitha

***

Kalau ada yang bertanya semua orang bahagia atau tidak setelah semua yang terjadi, maka jawabannya tergantung. Karena setiap orang, berbahagia dengan caranya sendiri. Salah satunya, bahagia dengan ikhlas saat yang dicintai memilih pergi.

Rasa-rasanya, semua sudah benar. Namun ada saja yang membuat berantakan. Kebenarannya, tidak akan ada cerita ini kalau tidak ada Dinda, Riza, Rama, Mitha dan siapa pun yang terlibat di dalamnya. Dan sampai sekarang pun, penyesalan mereka masih tertinggal di dasar yang paling dalam. Tertimbun, tapi bukan berarti menghilang.

Aldi termenung dengan wajah yang sulit diartikan. Sudah enam bulan berlalu, namun dia tak mendapat kabar.

Bodohnya, dia tetap diam seperti yang Dinda inginkan. Adik kurang ajarnya itu memang tidak pernah berubah. Dia selalu saja berhasil membuat Aldi pusing bukan kepalang.

"Kak—"

"Hah. Iya, kenapa?" Aldi gelagapan saat Acha duduk di samping ranjang.

"Masih mikirin Dinda?"

Aldi menunduk. Dia tidak mungkin menghindari pertanyaan seperti itu karena memang itulah kebenarannya.

"Susul aja, Kak. Aku ikut kepikiran terus kalau Kakak, gini." kata Acha sedih.

Aldi menggeleng. "Jangan mikir yang berat-berat. Nggak baik,"

"Ya gimana, masak aku harus pura-pura nggak tahu terus?"

"Maaf, aku nggak bisa tenang." Aldi tertawa pelan, kemudian menarik Acha dalam pelukannya.

Acha mengerti. Sebelum mengenal dirinya, Aldi dan Dinda sudah mengenal sejak dulu, bahkan sudah menjadi saudara. Acha hanya orang baru, tidak mungkin dia datang dan langsung menggantikan semuanya. "Kakak tahu kan kemana dia pergi?"

Aldi menghembuskan napas pelan, tatapan matanya langsung turun ke perut Acha, kemudian tangan kanannya terulur untuk mengusapnya lembut. "Dari dulu, aku ngerasa kalau udah jadi ayahnya Dinda, Cha. Jadi sekarang—" Aldi terdiam, dia tak tahu harus mengatakan apa.

"Nggak papa, Kak. Kalau mau nangis, nangis aja." katanya menenangkan. "Aku nggak akan bilang siapapun."

Mendengar itu, Aldi malah tertawa sedih. Dia malah merasa menjadi beban untuk istrinya sendiri. Padahal, sekarang istrinya tengah mengandung. "Minta Dinda pulang. Kakak nggak bisa tenang kalau gini terus."

Acha menarik napas perlahan, kemudian mengusap lengan suaminya. "Iya, udah sekarang kakak anterin aku ke dokter."

"Aku sampai lupa!"

"Iya makanya ayo," kata Acha bersemangat.

Aldi langsung berjalan cepat menuju kamar mandi, "Sebentar, tunggu aku di bawah." katanya setengah berteriak.

Wanita hamil itu tersenyum, kemudian mengambil ponselnya. Dia mengetikkan pesan dan tak ada sedetik pesan itu sudah terbaca oleh orang di seberang sana.

(kak) Acha

Pulang, Din. Kamu nggak akan dapet apa-apa kalau begini terus. Pulang ya, aku mohon. Nggak kasihan sama ponakan kamu yang masih di dalem perut, nih? Ya-ya, pulang ya

Dinda, perempuan itu tersenyum simpul saat membaca pesan dari iparnya. Namun setelah itu, senyumannya redup tergantikan tatapan nanar.

Maaf

Mbok Prih yang terdiam di belakang Dinda lantas menepuk pelan pundak perempuan yang sudah dianggap sebagai putrinya sendiri itu."Dewik?"

"Astaga, Mbok! Kaget aku!"

Human DiseaseTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang