48. Reprisal

482 52 6
                                    

Masukkan kalian sangat berarti untuk saya
Terima kasih

***

Dari dulu, Dinda yang paling anti degan percintaan. Dari dulu, Dinda juga yang paling benci suatu hubungan. Lalu sekarang, apa? Dia terlihat paling munafik di antara semua orang.

Apa ini yang namanya patah hati? Sakit tapi tak berdarah.

Demi apapun, Dinda tidak suka seperti ini. Dia seperti perempuan alay yang menangis karena masalah percintaan. Dulu dia pernah mencibir perempuan yang menangis karena putus cinta. Dan sekarang, dia malah lebih menyedihkan dari perempuan itu.

Memang benar, kalau berbicara buruk itu balik ke yang membicarakan. Dinda membicarakan orang lain dan sekarang dia mengalami hal yang sama, bahkan lebih menyakitkan.

Memeluk lututnya erat, Dinda masih terisak di sana. Rama pergi dan Riza entah ke mana. Nama mereka sama-sama berawalan huruf r, tapi kenapa kedatangannya membawa hal yang berbeda. Rama dengan tawa dan Riza dengan duka. Lalu Dinda sendiri, dia membawa derita. Tidak ada yang bisa dipilih.

"Ayo pulang!" Dinda menengadah, menatap sendu lelaki di depannya.

Karena Dinda diam saja, Aldi jadi harus membantunya berdiri. "Kamu ngapain di sini? Seneng banget bikin orang khawatir! Terus kenapa nangis?!" Aldi mengomel seperti waktu kecil dulu, saat Dinda bertengkar dengan temannya dan menangis tidak mau pulang sebelum dijemput olehnya.

"Aku mau pulang, Kak."

Aldi berhenti, membuang napasnya kasar. "Kakak anterin pulang, Rama udah pergi dari tadi."

Dinda tak menanggapi, mereka berjalan beririgan menuju pintu masuk.

"Kak?"

"Hm?"

Dinda tak tahu ini benar atau salah, hanya saja, dia ingin tahu. Sebelum berujar, dia menghembuskan napas perlahan, "Kalo orang yang kakak cintai mau punya anak, Kakak mau ngado apa?"

Aldi berhenti melangkah, kepalanya mendadak pusing seperti dihantam benda tumpul tak berkesudahan. "Kakak belum terlambat, kan?" tanya Aldi menatap Dinda nanar. "Ayo kita pulang ke Bali. Kakak nggak akan maksa kamu buat kembali ke Jakarta lagi."

Dinda mengangguk pelan dengan mata berkaca-kaca. "Tunggu semuanya di sini selesai, ya? Bawa Acha juga, jangan ditinggal?"

Saat itu juga Aldi langsung memeluk Dinda. Dia merasa gagal menjadi seorang kakak. Adik kecilnya sudah terlalu menderita selama ini. "Maafin kakak, Din."

"Aku yang minta maaf, Kak. Maaf." ujarnya lirih.

Mencoba mengalihkan pembicaraan, Aldi berujar, "kalau orang sering berlibur ke Bali, lama-lama Bali seperti Jakarta, biasa."

"Tapi aku mau ke Bali aja." kata Dinda lagi.

Aldi mengeratkan pelukannya. "Do anything you want. Kakak nggak akan maksa kamu lagi. Asal kamu hidup dengan baik."

Dinda balas memeluk erat Aldi. Tangisannya pecah di dada bidang kakaknya itu.

***

Dua hari full Dinda menjalani pemantauan. Gaga yang terlihat paling bahagia di sini. Setelah menjaga Rara dia akan mengunjungi Dinda. Dinda tersenyum kecil saat melihat Gaga datang. Lelaki itu tersenyum sumringah seperti biasa.

"You okay?" tanyanya.

"Sure."

Kemudian Gaga duduk di bangku dan menunduk dalam. "Gue egois banget, Din."

Dinda tidak mengerti, dia menyerngit bingung. "Kenapa, Ga?"

"Kalo ginjal gue cocok, gue nggak bakal minta lo buat donorin ginjal ke Rara."

Human DiseaseTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang