Dinda memilih pergi bukan karena dia berlebihan. Justru dia akan meringankan beban semua orang dengan kepergiannya. Mamanya tetaplah mamanya, wanita yang melahirkannya dan juga meninggalkannya sewaktu kecil. Aldi tetaplah kakaknya, kakak laki-laki terbaik yang pernah dia punya.
"Kenapa kamu nampar Dinda, Di? Tante gak pernah ngangkat tangan—"
"Terus aku harus gimana, Tan?!" sela Aldi frustasi. "Diem aja waktu Dinda hina tante, iya?!"
Rina terisak pelan. "Kamu yang paling deket sama dia. Kamu juga yang paling tau gimana hidupnya Dinda."
"Aku nggak akan nampar Dinda kalo nggak ada alasannya. Dia udah keterlaluan, sangat keterlaluan! Aku nggak tahan." Aldi mengacak rambutnya frustasi. Kepalanya ingin pecah memikirkan satu nama dalam benaknya.
"Ini semua salah tante!"
Aldi menengadah sesaat, kemudian berjalan menghampiri Rina dan memeluknya erat. "Maafin aku, Tan. Aku nggak ada maksud buat marah-marah sama Tante. Maaf."
"Kasian Dinda, Di. Cukup lukanya dulu, jangan ditambahin lagi." Rina menggeleng hebat di pelukan Aldi. "Kalo kamu ninggalin Dinda, dia sama siapa? Kamu yang Dinda percaya. Jangan tinggalin Dinda"
Aku udah ninggalin dia dengan berbohong, Tan. Maaf. "Aku bakalan cari dia. Tante tenang aja." Aldi mengusap punggung Rina pelan, mencoba menenangkan.
"Janji bawa Dinda pulang?"
Aldi terdiam cukup lama, memikirkan berbagai kemungkinan yang ada. Sampai akhirnya, dia menyerah sendiri pada keadaan."Aku nggak janji tapi aku bakal usaha bawa Dinda pulang. Tante jangan khawatir." Jujur, dia tak yakin kalau Dinda mau kembali ke rumah ini lagi.
Aldi adalah kakak sepupu Dinda. Ayahnya adalah kakak Rina sementara Ibunya meninggal saat berjuang melahirkannya dulu. Karena itu Rina sekalian menyusui Aldi. Bisa dibilang Aldi dan Dinda, sepersusuan. Mereka saudara, kakak adik, adik kakak sama saja.
Jika anak pertama Rina masih ada sampai sekarang, usianya pasti sama dengan Aldi. Dan Dinda pasti akan memiliki kakak laki-laki. Tapi Tuhan berkehendak lain. Tuhan mengambil kakaknya saat berusia tiga tahun dan menggantikannya dengan Aldi. Adil bukan?
***
Perlahan Dinda menjejakkan kakinya di salah satu unit apartemen eksklusif di Menteng. Saat membuka pintu, automatis lampu menyala. Cat dinding berwarna putih terlihat kontras sekali dengan warna lampu yang senada.
Tak ada yang spesial di apartemen ini. Kalaupun ada, itu hanya koleksi buku yang dia miliki. Semua tersusun rapi di perpustakaan yang sengaja Dinda buat sendiri.
Perlahan Dinda berbalik untuk menutup pintu tapi ada sesuatu yang menahannya. Saat mengangkat pandangan untuk melihat luar, dia malah menemukan Rama sudah berdiri di depannya dengan tatapan dingin. Refleks Dinda mundur beberapa langkah dan Rama langsung masuk begitu saja. Percuma saja kalau dia tahan, Rama pasti memaksa masuk. Daripada tenaganya terbuang sia-sia, Dinda lebih memilih mundur saja.
"Mau—" Perkataan Dinda terpotong begitu saja saat Rama berdiri tepat di depannya.
"Why did yo do that?" Rama bertanya lirih tak mau menghakimi, karena jujur Dinda tak pernah bercerita padanya.
Tak ada jawaban bersambut, Dinda menyibukkan diri dengan tasnya yang baik-baik saja di sofa.
"No reason. Pengen pergi aja. Sumpek di sana."
Rama mengembuskan napas berat, "Kamu udah dewasa, hm? Kalau punya masalah selesein dengan kepala dingin. Jangan kabur kayak gini. Tante histeris gara-gara kamu pergi tadi. Nggak kasian sama beliau?"
KAMU SEDANG MEMBACA
Human Disease
RomanceMenjadi dalang kehancuran keluarganya sendiri bukanlah keinginan Dinda. Perempuan itu tak pernah tahu kalau hidupnya akan sehancur ini. ______ They said, it is a broken life story. So what would you do with this story? Keep reading or finish here...