57. Sincere

1.8K 83 29
                                    

Pertama-tama, ini akan panjang sekali

***

Semua orang tahu, akhir sebuah kisah ditentukan oleh pengarangnya. Namun, ini bukan soal bagaimana akhirnya, melainkan bagaimana prosesnya bisa sampai sejauh ini.

Seperti yang Dinda lakukan sekarang. Dia tak tahu mimpi apa semalam sampai ditempatkan pada posisi dan keadaan yang seperti ini.

Dia berada dalam lift sendiri karena Rama mengambil sesuatu yang tertinggal di mobil, ya karena lelaki itu baru ingat kalau ada yang tertinggal saat sampai di lobi lantai bawah rumah sakit. Pesannya pada Dinda saat itu, "Tunggu aku!"

Dasarnya Dinda yang keras kepala, dia meninggalkan Rama dan naik lift lebih dulu. Di lantai ke tiga, pintu lift terbuka. Hal biasa kalau yang di dalam maupun yang di luar saling melihat untuk mengamati keadaan sekitar. Namun, untuk pertama kalinya, Dinda menyesal karena sudah mengangkat wajahnya. Dadanya berdebar tiba-tiba. Sakit, takut, kaget, semua bercampur menjadi satu.

Di depan sana, tepat di depan matanya, laki-laki yang menghilang bagai di telan bumi beberapa tahun terakhir ini, muncul kembali di hadapannya.

Setelah sekian lama...

Lelaki itu, tak ada yang berubah. Tatapan matanya, datar wajahnya, dada bidangnya, aura dinginnya, semua masih sama. Tak ada yang berubah sama sekali. Tidak ada yang berubah. Lelaki itu bahkan tak melihat ke arahnya. Jangankan melihat, melirik pun tidak.

Dinda tepekur beberapa saat sampai otaknya sukses bekerja. Dia turut memasang wajah datar yang menjadi andalannya selama ini. Dan tentu saja kedataran itu menjadi pengiring sempurna pertemuan tak sengaja mereka berdua.

Riza berjalan masuk lebih dalam seperti biasa dan berdiri tenang di samping Dinda, kemudian pintu lift tertutup seperti seharusnya. Jika dilihat, mereka bukan seperti—tapi benar-benar orang asing. Orang asing saja kadang bertegur sapa atau paling tidak saling bertukar senyum, tapi mereka—itu tidak akan terjadi.

Dalam keadaan seperti ini, Dinda menyesali kebodohannya yang diam saja saat melihat Riza masuk. Harusnya dia keluar saja tadi. Tapi, kalau dia keluar, nanti dia dikira menghindar. Tunggu! Sejak kapan seorang Dinda memikirkan pendapat orang lain?

Sungguh tidak enak saat menjadi orang lain saat menghadapi orang lain.

Semakin lama, Dinda merasakan tubuhnya kaku sendiri. Tatapan matanya tak pernah berubah, dia cemas menatap lampu lift. Sepertinya, dia sudah lama berada di sana, tapi kenapa angkanya masih diangka tujuh. Dan sedetik kemudian. Lift tiba-tiba berhenti.

Dinda menatap lampu yang masih menyala. Riza melakukan hal yang sama, dia melihat depan sesaat dan menekan tombol interphone yang lebih dekat darinya. Lelaki itu membuang napasnya gusar.

Jangan tanya, Dinda sudah panik lebih dulu. Kondisinya yang kurang fit, dipertemukan dengan Riza dan terjebak dalam lift yang sama. Lebih baik dia naik tangga darurat sampai ke lantai 20 daripada berakhir seperti ini. Kemudian ada pemberitahuan yang menyusul, kalau mereka harus keluar saat lift terbuka

Kurang lebih sepuluh detik menunggu, lift kembali berjalan. Dinda bisa bernapas dengan lega. Dengan santainya, dia berjalan ke luar lebih dulu.

"Awas!" seru Riza bersamaan dengan menarik lengan Dinda cepat. Dinda yang berjalan menunduk karena membenarkan letak tas selempang miliknya, tidak sadar saat pintu tertutup dengan cepat.

Benar saja jantung Dinda langsung bertalu hebat. Dia menatap Riza dengan mata yang melebar sedangkan Riza menatapnya seperti ingin menelannya mentah-mentah.

"Hati-hati!" peringatnya, lantas melepas cekalannya. Dan semua terjadi begitu cepat. Lift kembali bergerak, bukan ke atas melainkan ke bawah.

Dinda yang limbung karena pergerakan lift yang tiba-tiba langsung perpegangan pada dinding. Riza melakukan hal yang sama. Panik tidak perlu ditanyakan lagi. Dinda merasakan sesak di sekitarnya. Dia bahkan bisa merasakan keringat yang meluncur dari leher dan turun membasahi punggungnya. Dia sendiri juga tidak tahu kenapa.

Human DiseaseTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang