Trigger Warning
Abusive!
***
Dinda tak sanggup melanjutkan langkahnya lagi saat hampir mencapai pintu ruangan Rara. Sedari tadi, dia diam, berjalan, diam, berjalan, diam dan begitu seterusnya. Ada ketakutan yang mendalam. Dia ingin mengalahkannya, tapi tidak bisa.
Riza yang jauh di depan sesekali menoleh untuk melihat. Lelaki itu kesal. Dia seperti menunggu anak kecil berjalan lama. Tidak sampai-sampai.
Sedangkan Dinda sendiri, mati-matian berpegangan pada dinding agar tidak jatuh di lantai. Semakin ke sini, jantungnya semakin berdetak hebat. Dia tidak bisa bernapas dengan benar. Sekali mengambil napas, rasanya sakit sekali. Sekali menghembuskan napas, dia takut tak bisa bernapas lagi setelahnya.
Tuhan...
Dinda mengusap wajahnya kasar dengan tremor yang semakin menjadi-jadi. Seluruh tubuhnya merespon seolah ketakutan. Seolah tubuh Dinda tahu kalau akan dipertemukan lagi dengan orang yang sering menyiksanya lahir batin sedari dulu.
Mencoba menarik napas pelan, tapi tak membuat Dinda lega sama sekali. Dia tetap ketakutan. Saat Riza berhenti tepat di depan pintu ruangan Rara, perempuan itu bersandar pada dinding. Dia tak sanggup melanjutkan langkahnya lagi. Dia ingin melarikan diri saja. Sungguh, dia takut. Rasanya, rasa takutnya sendiri cukup untuk membunuhnya saat itu juga.
"Ayo." Kata Riza pelan seraya menatap Dinda datar.
Dinda sudah siap melangkahkan kaki gentarnya lagi, tapi semuanya tak terjadi seperti yang kebanyakan orang inginkan. Dia luruh ke lantai dan menangis seperti anak kecil. Memeluk lututnya dan menenggelamkan wajahnya di antara kedua lututnya itu.
Riza membuang napas gusar. Dia tidak suka dan nyaris benci dengan keadaan seperti ini.
"Ayo?" kata Riza lagi. Keadaan sekitar yang sepi membuat Riza bersyukur. Setidaknya, dirinya tidak menjadi tontonan.
Dinda mendongak dengan wajah yang memerah hebat. Dia ingin menjerit saat melihat wajah datar Riza. Tapi tidak bisa.
"Ayo?" ulang Riza untuk yang ketiga kalinya.
"I am scared." lirih Dinda pelan. Tak ada yang bisa dia tutup-tutupi lagi. Rasa takutnya tak terbendung lagi.
Riza membuang tatapannya ke arah lain. Kenapa melihat Dinda menangis seperti ini membuat hatinya berdenyut nyeri juga? Masih berfungsi juga hatinya? Atau karena bersama Mitha sudah membuatnya menjadi lelaki yang sedikit memiliki hati nurani.
Mengusap kepalanya gusar, Riza bergegas jongkok dan membantu tubuh Dinda untuk kembali berdiri. "Tidak apa-apa, saya temani."
Dinda menurut saat dibantu berdiri oleh Riza. Dia berpegangan pada apapun yang bisa membuatnya berdiri. Kalau bisa memilih, Dinda akan putar balik dan pergi, menghilang untuk selama-lamanya. Tapi... tapi tidak bisa. Sudah terlalu lama semua orang menderita karena dirinya.
Menghapus air matanya kasar dan kembali berjalan pelan. Tapi lagi-lagi, air matanya jatuh tanpa diminta. Tapi kali ini Dinda tidak berhenti. Riza yang membantunya berjalan seolah membawa kekuatan tersendiri baginya.
Riza terdiam di depan pintu saat Dinda juga terdiam di sana. Perempuan itu menggenggam tangannya kuat. Riza yang sadar langsung mengambil alih membuka pintu.
Suara perempuan menangis yang Dinda tangkap pertama kali.
Semua orang yang ada di ruangan itu menatap ke arah Riza yang baru datang. Di saat Gaga menatap penuh permohonan padanya, maka lain hal dengan semua orang yang seperti kehilangan tujuan. Apalagi perempuan paruh baya yang terisak pelan di dekapan lelaki yang diketahuinya bernama Aldi.
KAMU SEDANG MEMBACA
Human Disease
RomanceMenjadi dalang kehancuran keluarganya sendiri bukanlah keinginan Dinda. Perempuan itu tak pernah tahu kalau hidupnya akan sehancur ini. ______ They said, it is a broken life story. So what would you do with this story? Keep reading or finish here...