Dinda terdiam saat memasuki pagar yang tingginya mencapai pinggang. Sejak memasuki gang di jalan depan sana, dia sudah tak enak hati. Dan jelaslah sekarang kenapa hatinya bermasalah sedari tadi. Rumah di depannya bahkan lebih bagus gudangnya yang berada di rumah. Kucing liar di mana-mana, apalagi sampah berserakan menyambutnya di sepanjang jalan.
"Masuk!" seruan Fajar berhasil membuat Dinda tersadar dan bergegas masuk seperti yang Fajar intruksikan.
Pertama kali melangkahkan kakinya di dalam rumah berukuran 5x6 meter itu, Dinda langsung teringat Rara. Bagaimana kakaknya hidup selama ini. Kalau Dinda paling takut dengan tikus maka Rara paling takut yang namanya cicak. Jangankan melihat hewannya, mendengar suaranya saja Rara sudah menutup seluruh tubuhnya dengan selimut, takut dijatuhi. Dinda sangsi kalau di rumah ini tidak ada cicaknya. Tapi dia sepenuhnya yakin, di sana pasti ada musuh bebuyutannya. Mbak ti, tikus.
Sejauh mata memandang, Dinda disuguhi beberapa petak ruangan. Tepat di depannya, ada ruang tamu. Sebelah kanannya ada ruang yang dirinya yakini adalah kamar satu-satunya.
"Bersihin!" kata Fajar lantang sambil membuang sesampahan tepat di depan Dinda bahkan sampai mengotori kets putihnya.
"Sapunya di mana, Pa?"
Tanpa mau menatap Dinda, Fajar kembali berujar. "Punya mata, kan?! Cari sendiri!"
It's okay. Kak Lala aja kuat, masak lo gini aja mau nangis, cemen banget jadi manusia!
Menghembuskan napas berat, Dinda langsung menyapu pandangannya ke setiap sudut penjuru rumah, mencari sapu dan pengeruk.
"Di dapur!" teriak Fajar akhirnya. Dia kesal sendiri melihat Dinda yang tak jalan-jalan. Lelet seperti keong.
Maju beberapa langkah, Dinda melihat ruang dengan televisi dan ada ruangan lagi yang dibatasi oleh tirai berwarna hijau. Dinda tebak, itu adalah dapur karena hanya ada satu kamar di dalam rumah. Okay, dia akan berjalan ke sana.
Cit cit
Tanpa tendeng aling-aling, Dinda langsung berlari sampai keluar rumah dan tak sengaja menabrak pintu depan. Tadi, ada dua tikus berbadan gemuk sedang memakan sesuatu di tempat sampah dekat sapu diletakkan.
"Duh ada mbak ti, kan?!" katanya celingak-cilinguk, takut kalau-kalau tikus tadi mengikutinya sampai luar.
"Apa sih?! Berisik sekali!"
Dinda bingung harus menjawab apa saat papanya sampai keluar karena keributan yang dia ciptakan. "Anu- Itu ada tikus." katanya pelan.
Fajar terlihat biasa saja. Lelaki paruh baya itu malah berbalik dan kembali masuk ke dalam rumah. "Cepetan bersihin makanya!" teriaknya di akhir.
Dinda menggigit bibir bawahnya kuat sebelum mendongak menatap langit terang dengan mata yang berkaca-kaca. Nangis boleh, nggak, sih?! Batinnya berteriak.
Mau tak mau, akhirnya dia masuk juga ke dalam rumah dengan langkah was-was. Belum beberapa langkah, dia melihat siluet sesuatu yang bergerak ke arahnya dengan pasti. Tanpa banyak berpikir, dia kembali berlari ke luar rumah bahkan lebih jauh dari yang pertama tadi.
"Kenapa pake takut sama tikus segala, sih?!" gerutunya kesal sendiri. Dia bahkan sudah mencak-mencak saking kesalnya.
Tapi tiba-tiba, Dinda melihat sesuatu yang dilempar dan ternyata itu sapu dengan pengeruknya. Kemudian, Dinda melihat Fajar masuk kamar.
Menurut pengalamannya yang minim sekali tentang bagaimana menghindari tikus, Dinda hanya tahu kalau tikus akan berlari dan sembunyi saat ada orang. Tolong jelaskan padanya agar berhenti berlari jika melihat tikus. Bukan apa-apa, tapi saat Dinda melihat tikus maupun tikus melihatnya, keduanya sama-sama berlari menjauh. Tidak ada yang mau mengalah.
KAMU SEDANG MEMBACA
Human Disease
RomanceMenjadi dalang kehancuran keluarganya sendiri bukanlah keinginan Dinda. Perempuan itu tak pernah tahu kalau hidupnya akan sehancur ini. ______ They said, it is a broken life story. So what would you do with this story? Keep reading or finish here...