39. Owe

463 51 5
                                    

Setuju tidak setuju, terima tidak terima, bumi akan tetap berotasi hingga mengakibatkan terjadinya pergantian siang dan malam. Dan entah sampai rotasi yang ke berapa semua orang terlena akan pikirannya sendiri.

Rasanya masih seperti mimpi. Semua yang terjadi terlalu tiba-tiba tapi membawa kepastian yang nyata. Rara, Kak Lala-nya sudah kembali. Kembalinya pun, tetap membawa duka nestapa. Seperti kepergiannya waktu pagi menjelang siang kala itu.

Sedari kemarin, Aldi sudah memohon, bahkan sampai meminta belas kasih pada Rara agar mau berbicara sedikit dengan mamanya. Tapi yang didapati Aldi hanyalah kebungkaman belaka. Rara bahkan tidak mau menjawab keinginannya. Jangankan menjawab, menoleh saja tidak. Dia terus berpaling dan berpaling sampai orang yang mengajaknya bicara menyerah dan pergi.

Tadi, terjadi perdebatan lagi karena Rara tetap menyerukan gerakan tutup mulut kepada semua orang. Kecuali Gaga, tentunya. Kalau Gaga tetap memaksa, mungkin Gaga akan menjadi korban selanjutnya. Dan itu artinya, Rara tidak akan mau bicara dengan siapapun lagi.

"Ra, jangan kayak gini, dong. Kasian mereka." Gaga mengusap jemari Rara pelan sedangkan sang empunya menatap luar jendela datar.

"Memang aku kenapa?" tanyanya.

"Nggak baik menyimpan kebencian, Ra. Benci hanya akan membuat kita gelap mata."

Rara tertawa sumbang, "benci atau enggak, nggak ada pengaruhnya buat mereka. Aku mati-"

"Rara!" Gaga membentak. Dia paling benci jika Rara sudah menjurus yang ke sana. Kalaupun iya ada yang akan pergi, maka cukuplah menjadi rahasia Illahi.

"Kamu tau tidak, rasanya dibuang itu seperti apa?"

Gaga balas menatap Rara dalam tanpa mau mengalihkan pandangannya sedikitpun. "Tau. Sangat tau. Kamu lupa kalau aku dibuang sama ibuku sendiri di stasiun? Kamu masih beruntung, Ra! Ada Om Fajar yang nemenin kamu selama ini, terlepas dari semua sifat buruknya."

Lelaki ini menerawang jauh ke depan dan kembali berujar, " Kamu ada yang beliin obat pas sakit. Ada rumah walaupun reot untuk berteduh. Sedangkan aku, aku hidup luntang-lantung di jalanan. Kalau nggak dikasihani orang, kerjaanku yang ngamen sama nyari rongsokan."

"Dari dulu, aku selau cerita sama kamu tentang kehidupanku yang nggak ada bagus-bagusnya sama sekali. Aku selalu cerita apapun itu. Tapi sampai sekarang, bahkan sampai detik ini, kamu masih nyaman menyimpan semuanya sendiri." Gaga menoleh, menatap Rara lekat. "Kalau aku sama semua orang nggak ada di ruangan Dinda waktu itu, mungkin aku nggak akan pernah tau kebenarannya kayak apa."

"Apa yang harus dibanggain dari dibuang mamanya sendiri?" Rara menggeleng pilu, "Nggak ada, Kak."

"Kamu nggak dibuang, Ra. Kam-"

"Terus apa?" sela Rara. "Kamu nggak tau gimana wanita itu diem aja waktu aku dibawa pergi sama papa. Aku nangis, aku mohon tapi nggak ada yang mau ngedengerin aku. Dia cuma diem dan meluk anak hasil perselingkuhannya!"

"Ra-"

"Aku mau tidur. Tolong keluar." Rara langsung meringkuk membelakangi Gaga.

"Mama kamu sama Dinda sama-sama nangis, nggak? Dinda ngejar kamu sampai nangis di jalanan, nggak?"

"Keluar, Kak."

Tak mau membuat Rara semakin tersiksa, Gaga langsung keluar dari ruangan Rara dengan langkah berat. "Kalo mereka bahagia atas kepergian kamu, Dinda nggak akan semenderita ini." Rara yang mendengar tetap diam. Dia tahu, tidak ada yang membelanya. Dia mengangap dirinya sendiri sampah. Buktinya, dia selalu dibuang. Semuanya hanya memikirkan Dinda.

Menderita apanya? Omong kosong!

"Gimana?" tanya Aldi pelan saat Gaga keluar dari ruang rawat Rara dan duduk di sampingnya.

Human DiseaseTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang